Tujuan Pernikahan yang Banyak Orang Kesampingkan
Apa sih tujuan pernikahan?
Ketika para ulama menulis buku fikih pernikahan, maka urutan pertama tujuan menikah ternyata bukan penyaluran syahwat, bukan soal ketentraman hati.
Tapi soal keturunan.
Kenapa bisa? Simak ya!
⬇️⬇️⬇️⬇️
VN by Risalah Amar
Dirangkum oleh @nikmahwriter
Apa tujuan pernikahan?
Bagi yang sudah menikah bisa untuk merefresh ulang ya, masa pernikahan selama ini. Bagi yang belum nikah, bisa cek lagi makna tujuan pernikahan nanti.
Dalam kitab ihya ulumiddin, Imam Ghozali rahimahullah ta'ala menegaskan bahwa tujuan pernikahan diantaranya menghasilkan keturunan secara halal.
Lalu yang kedua menyalurkan rasa syahwat, menyalurkan rasa kenikmatan.
Lalu mendapatkan semangat ibadah dan mendapatkan rizq Allah subhanahu wa ta'ala serta rizq rasulullah salallahu alaihi wasalam.
Kita bahas pelan-pelan disini.
Pertama, menghasilkan keturunan.
Oke, pasti disini ada orang yang berpikir, "berarti pernikahan itu tujuannya buat anak dong?"
Oke, sebelum kita bahas ke arah sana, ini sangat berkaitan erat dengan sabda Nabi salallahu alaihi wasalam,
«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ» صحيح البخاري (7/ 3)
Artinya,
Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai ba-ah, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.'” (H.R.Al-Bukhari)
Intinya seruan pada pemuda, 'hai segenap pemuda, bila telah ada pada kalian ba'ah, maka menikahlah...'
Lalu, apa itu ba'ah?
Ba'ah menurut sebagian ulama itu lebih dekat diartikan kepada keinginan dan kesanggupan untuk berhubungan seksual, maka kemudian dia menikah.
Ternyata hubungan seksual itu secara langsung ada hubungannya dengan apa? Ya, dengan kemampuan untuk menghasilkan anak.
Menurut sebagian pakar kesehatan - ini lagi-lagi sudah lintas pakar ya- artinya bukan lagi menurut kata ulama ahli tafsir- akan tetapi menurut orang-orang yang paham dunia kedokteran, mengapa seseorang punya syahwat? mengapa seorang perempuan ingin sekali berhubungan badan? dan seorang laki-laki juga ingin sekali berhubungan badan? kalau secara medis itu atau secara ilmu kesehatan, seorang perempuan itu ketika menjelang hari-hari terakhir masa sucinya menuju haid, itu syahwatnya tinggi sekali. Kalau yang laki-laki, setiap pagi dan malam sebelum tidur itu digambarkan syahwatnya juga tinggi. Karena ternyata itu mewakili saat-saat ketika sel telur dan sperma lagi mateng-matengnya, sehingga syahwat itu sebetulnya adalah fenomena hormonal. Dan syahwat sebenarnya adalah fenomena ketika sel telur dan sperma sudah matang sehingga saat itu hormon muncul dan tekanan darah pun naik dan seterusnya. Nah, itulah yang kita sebut sebagai syahwat seksual. Karena berhubungan dengan kematangan sel telur dan sperma maka cara untuk 'mengobatinya' ya akan dilakukan hubungan badan. Dan hubungan badan itu konsekuensi langsungnya selain adalah kenikmatan adalah lahirnya anak atau terciptanya kehamilan, itu konsekuensinya.
Maka, penting dipahami bahwa akad nikah hadir untuk menghalalkan itu semua. Akad nikah itu hadir untuk menghalalkan hubungan badan sehingga anak yang lahir menjadi sah tercatat, ini anak siapa, nasabnya siapa dan seterusnya.
Akad nikah itu juga digunakan untuk menyalurkan hasrat seksual secara tertib dan secara benar, artinya hanya kepada orang yang halal buat dia, kalau yang laki-laki maksimal empat istri atau kepada budak yang dia beli dan zaman sekarang sudah tidak ada budak.
Nah, berarti pembahasan kita bersambung soal ini.
Lalu, begini, kalau ada orang syahwatnya sudah muncul tapi dia belum siap menerima kehamilan, dia belum siap mengasuh anak, dia belum siap menafkahi anak, harus bagaimana?
Nanti akan berhubungan dengan bahwa pernikahan itu tujuannya menjalankan cinta kasih dan mendapatkan kebahagiaan atau mendapatkan ketenteraman, mendapatkan sakina.
Jadi, ketika ada sepasang suami istri atau orang yang sedang bertaruh, baik itu salah satunya maupun keduanya ternyata tidak matang secara emosi, sehingga ketika nanti terjadi kehamilan atau sudah melahirkan anak dan sudah punya anak, ternyata secara mental dia tidak matang atau bahkan secara mental bukan cuma tidak matang tapi terganggu, dia pernah punya trauma, dia pernah punya depresi, dan itu bukan cuma self-diagnostic, akan tetapi sudah dibuktikan dengan dia sudah berangkat ke psikolog dan seterusnya. Dan psikolog pun tidak merekomendasikan dia menikah dan seterusnya, maka pada saat itu pernikahan turun hukumnya menjadi makruh, bukan lagi menjadi sunnah.
Kenapa? karena tujuan pernikahan tidak tercapai.
Hmm, oke, menghasilkan anak bisa, akan tetapi disini ada masalah mental, disini ada masalah ketika dia mendidik anak nanti tidak akan baik, ketika dia punya anak nanti mungkin dia hanya akan semakin depresi atau menimpakan depresi- bukan hanya depresi, menimpakan penyakit turunan kepada anaknya (generational trauma) yang ini merupakan penyakit mental.
Ada seorang laki-laki kalau marah suka memukul, ada seorang laki-laki kalau dia emosi atau kalau dia tantrum itu dia suka berkata kata kotor kepada semua orang, emosional banget, tak punya kompetensi mengendalikan diri.
Dan atau ada perempuan yang mungkin pernah punya trauma sehingga sangat dimungkinkan dia terkena baby blues (Postpartum Depletion) nanti ketika sudah melahirkan sampai dengan 3 minggu pertama.
Di titik inilah maka pernikahan itu menjadi makruh, meski sebetulnya ada solusi.
Solusinya apa?
Ya solusinya bisa jadi dia menunda kehamilan sampai dengan dia berikhtiar, sampai dengan kira-kira masalah mentalnya sudah selesai, karena bisa jadi menurut pandangan sebagian ulama, menurut pandangan sebagian orang, kastrasi seksualnya ini harus ditangani dulu, kalau masalah anak kan bisa ditahan dengan cara mungkin menggunakan alat kontrasepsi atau ditunda atau lain-lain sebagainya.
Akan tetapi, lagi-lagi, dalam hubungan pernikahan kita tidak pernah tahu apa yang terjadi, barangkali dia sedang lupa menggunakan alat kontrasepsi atau barangkali mungkin ya qadarullah terciptalah anak dari hubungan badan yang mereka lakukan.
Maka memang sebaiknya bagi orang yang belum selesai dalam persoalan mental, tundalah, tidak dulu menikah karena tadi dengan kaitan bahwa tujuan utama pernikahan itu menghasilkan anak.
Nah kalau begitu kapan seseorang dikatakan 'pas', siap menikah?
Pertama, dia sudah paham dulu fikih munakahat, fikih munakahat atau fikih islam di dalam dunia pernikahan.
Dalam dunia pernikahan sudah didesain agar seorang anak mendapatkan keadilan dan mendapatkan pembagian peran yang sesuai antara ibu dengan ayah. Maka ketika ibu menafkahi dan ayah diam di rumah atau ayah ganti porsi mengasuhnya itu jadi terlalu dominan daripada ibu, maka pasti akan ada sesuatu pada mental anak yang keliru.
Atau sebaliknya, ayah hanya menafkahi saja tapi tidak hadir untuk mengasuh, tidak hadir secara ideologis, tidak hadir juga bahkan secara fisik misalnya, maka pasti nanti anak akan kehilangan sosok atau misalnya selain itu ayah adalah orang yang kerap berzina, bergonta-ganti pasangan, meskipun anaknya tidak melihat tapi anaknya tahu, sehingga ayah itu dianggap anaknya melakukan dosa-dosa besar. Maka nanti pasti seorang anak tidak punya barrier atau tidak punya pembatas apa yang disebut dosa besar, apa yang disebut dosa kecil dan apa yang disebut sebagai amalan soleh, maka akhirnya dia akan mudah melakukan dosa-dosa tersebut juga.
Meski begitu, tentu saja, salah satu solusinya, mau tidak mau, perlu belajar fikih, lagi-lagi balik ke persoalan tujuan pernikahan, untuk menghasilkan keturunan dan konteks -kalau begitu apa yang perlu kita siapkan dan kapan kita dikatakan siap untuk meraih tujuan pernikahan?
1️⃣ yang pertama, tadi kita perlu belajar fikih,
2️⃣ Lalu yang kedua, kita belajar menjadi orang yang tertib secara pendapatan, tertib secara pengelolaan keuangan. Tertib pendapatan dan tertib pengelolaan keuangan adalah salah satu kunci dari rumah tangga yang bahagia, sehingga dengan kebahagiaan tersebut, aura baik atau nasihat-nasihat baik, kata-kata yang baik dan ekspresi wajah yang baik, akan ditampilkan kepada sang anak, sehingga anak tidak menerima keburukan dari rumah dan tidak menganggap rumahnya itu sebagai sumber masalah dia pada saat dia tinggal di rumah tersebut.
Wallahu 'alam. Postingan ini bersambung ya.
Kalau dariku pribadi, penting banget untuk memulihkan trauma sebelum menikah. Jikapun baru disadari, saat sudah menikah, please to be honest. Jujurlah ke pasangan dan minta dukungan untuk melakukan pemulihan.
--
Pas hari ini, Sabtu 18 Oktober 2025, podcast rutin episode ke-41 suara inner child juga sudah tayang.
Ini yaaa deskripsi podcastnya.
Masa lalu mungkin meninggalkan bekas luka, tetapi masa depan bersama pasangan, menawarkan salep, obat terbaik. Pernikahan ini adalah langkah berani dua manusia yang sadar menuju penyembuhan dan kebahagiaan sejati.
Kali ini kita membahas 'Pernikahan Inner Child' di episode ke-41. Spesial tayang di Spotify 18 Oktober 2025.
Selamat mendengarkan 🎧🤗
https://open.spotify.com/episode/35vUVLdeU15fFhZVjD8bwq?si=6j_vFnr8Sjq9NvfZn0jUgQ&context=spotify%3Ashow%3A245auGvdt4XJ5S2eKlPYQO
#InnerChildHealing #PernikahanBahagia #CintaTanpaSyarat #AwalBaru
Comments
Post a Comment