Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

 Usia 7-9 Tahun 



Pendahuluan

 

Spirit kita sebagai orang tua di dalam membersamai pendidikan anak-anak kita, seperti dalam pertemuan awal.

 

Yang pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. bahwasanya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada pemberian orang tua kepada anak yang lebih utama dibanding adab yang baik." 

Dan adab yang baik itu hanya terbentuk lewat pendidikan. Sehingga ketika kita memberikan pendidikan kepada anak kita, maka kita telah menyiapkan hadiah terbaik untuk anak kita. Dan itu akan abadi, itu akan langgeng. Sebagaimana Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa kalau manusia itu mati akan terputus semua amalnya kecuali tiga hal. Satu dari tiga itu adalah anak saleh yang mendoakan orangtuanya. 

 

Dan tidaklah anak itu saleh dan punya semangat untuk mendoakan orang tuanya kecuali anak itu tumbuh dengan pendidikan yang baik. Maka sebenarnya kita belajar ini dalam rangka menyiapkan kado terbaik untuk anak kita, hadiah terbaik untuk anak kita. 

 

Kemudian yang kedua, kalimat Dr. Muhammad Khair Asya'al yang mengatakan bahwa kehidupan berkeluarga adalah mihrab ibadah. Lagi-lagi kita harus mengingatkan diri kita bahwa mendidik anak itu adalah dalam rangka kita beribadah kepada Allah. Dan tujuan dari ibadah itu adalah untuk meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah. Maka jangan sampai dalam proses pendidikan anak kita ciderai dengan hal-hal yang justru membuat kita semakin jauh dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam mendidik anak kita melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan mendidik anak adalah salah satu pintunya. 

 

Semoga usaha kita untuk mendidik keluarga menambah kualitas dekatnya diri kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dua kalimat ini mudah-mudahan terus terngiang-ngiang di dalam pikiran kita sehingga menumbuhkan kesadaran kita akan urgensi dan nilai mahal proses yang kita lakukan di dalam pendidikan anak kita sekecil apapun yang kita kerjakan. 

 

Sebelum membahas materi, ada hal-hal yang mesti kita waspadai dan juga nilai apa yang mesti kita tanam. Maka ada beberapa fenomena di usia usia 3 tahun ketiga (7-9 tahun) yang ingin kita soroti dan setidaknya hal-hal yang demikian itu mulai kita lihat, nampak pada diri anak-anak kita. Materi ini sebagai titik pola di usia 7,8, 9 tahun anak, walaupun usia anak kita sudah lewat dari itu, setidaknya itu bisa menjadi bahan evaluasi kita untuk pertumbuhan moral, akhlak, iman, ibadah yang terjadi pada anak kita hari ini. Mungkin kita punya anak usia 15 tahun, 13 tahun, 18 tahun, 20 tahun. Kemudian kita melihat adanya pencapaian moralnya seperti apa, akhlaknya seperti apa, imannya seperti apa, ibadahnya seperti apa, kesadarannya akan menuntut ilmu seperti apa.

 

Maka begitu kita belajar pendidikan anak usia 7, 8, 9, setidaknya itu bisa menjadi bahan evaluasi kita (bagi yang anaknya sudah berusia diatas itu). Misal, “Oh, dulu saya belum melakukan ini secara maksimal”. Atau, “Oh, dulu aku belum melakukan yang demikian ini secara maksimal”, sehingga kita bisa menambal sulam. Kita bisa melengkapi apa yang sebelumnya terlewatkan. Dan kaidah dalam tradisi fikih kita adalah mala yudru kulluhu la yudru kulluhu. Sesuatu yang tidak bisa dikerjakan semuanya maka tidak boleh kita tinggalkan semuanya. 

 

Dulu di usia anak kita 7, 8, 9 tahun mungkin kita tidak bisa melakukan A B C D tapi dan sekarang anak sudah usia 15 tahun maka sebisa mungkin ya kita harus melakukan itu seberapapun dapatnya. 

 

Fenomena di Usia 3 Tahun Ketiga

 

Beberapa fenomena itu adalah :

 

1.     Yang pertama yang mesti kita lihat pada anak 7, 8, 9 dengan proses pendidikan yang kemarin sudah kita lakukan di usia 1 sampai 6 tahun itu, maka mulai terlihat kepercayaan diri anak kita, kemudian kecenderungan untuk hidup mandiri. Maka di usia 7, 8, 9 tahun ya mungkin bagi orang tua-orang tua yang memang sudah menyiapkan satu anak satu kamar sejak kecil okelah. Tapi kan tidak semuanya demikian. Maka di usia seperti ini anak sudah mulai menginginkan kamar, kamar pribadi gitu dan itu adalah kamarnya dan itu adalah tempat privasinya. Kalau masih bersama dengan saudara-saudaranya, ya setidaknya dia pengin tempat tidur yang pribadi. Itu adalah tempat untuknya, itu bantal untuknya, itu selimut untuknya dan seterusnya dan seterusnya. Dan ini semuanya sebenarnya sesuai kok dengan fitrah anak. Karena nanti di usia 10 tahun, Nabi itu memerintahkan orang tua untuk memisahkan anaknya di tempat tidur.

Jadi, masyaallah tabarakallah ya. sebelum usia 10 tahun apa? Nabi menyuruh orang tua agar memisahkan anaknya di tempat tidur di usia 10 tahun. Sebelum usia itu maka Allah Subhanahu wa ta’ala sudah tumbuhkan sebenarnya kecenderungan untuk hidup mandiri pada anak, walaupun persentasenya tidak tinggi. Jangan dibayangkan mandiri ya semandiri orang dewasa. Jangan gitu. Mandiri level anak usia itu. Itu bahkan kalau biasanya pakai parfum ketika mau berangkat sekolah atau mau main, mau keluar jalan-jalan khususnya itu masih menggunakan parfum ibunya atau parfum ayahnya. Ini sudah mulai minta tuh gitu ya. Makanya ini ditangkap dengan baik oleh industri-industri parfum sehingga dibuatkan parfum khusus untuk anak gitu. Dan memang kecenderungannya seperti itu. Apa-apa pengin punyanya sendiri, serta barang-barang pribadi yang lain.

2.     Kemudian yang kedua, relatif itu baik dan mampu menjalankan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Jadi, anak di usia ini sudah relatif baik menjalankan tanggung jawabnya. Maka orang tua ya harus memberikan, mendeliver tanggung jawab-tanggung jawab rumah tangga kepada anak itu. Entah sekedar untuk merapikan tempat tidur. Setelah hal-hal yang sifatnya pribadi untuk anak, meja belajarnya anak, terus nanti merapikan apa? merapikan ruang tamu, membersihkan meja, memotong bumbu di dapur bersama dengan ibunya, mengganti baterai jam yang sudah habis di rumah. Itu tanggung jawab-tanggung jawab yang bisa kita deliver kepada anak di usia ini. karena dia relatif baik dalam mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya. Yang penting syaratnya nomor tiga.

3.     Menjalankan perintah sesuai instruksi, terkadang menolaknya. Artinya, instruksinya harus jelas karena dia mampu menjalankan perintah sesuai dengan instruksi. Kalau diminta untuk mengganti baterai jam ya kita kasih tahu baterai jam itu ada positif ada negatif. Yang positif itu tandanya seperti apa? negatif seperti apa. Jadi instruksinya yang jelas. Motong bawang merah contohnya di dapur, maka cara motongnya seperti apa dan seterusnya juga harus jelas instruksinya itu.

Makanya jangan lewatkan usia ini untuk men-deliver tanggung jawab-tanggung jawab rumah tangga kepada anak. Dan ada penelitian kan, kalau tidak salah menyebut di Oxford University tentang penelitian selama 70 tahun lebih tentang anak-anak yang punya kemandirian di usia dewasa itu rata-rata mereka adalah anak yang perhatian terhadap tanggung jawab di dalam rumah, terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan orang tuanya di dalam rumah. Ya, ngepel, ya nyuci, kemudian nyuci kendaraan, ikut nyetrika dan seterusnya.

Makanya di antara rahasia orang-orang generasi sebelum kita yang melahirkan kita, kenapa kita hari ini ya cenderung memiliki empati, cenderung memiliki ketangkasan, kreativitas, kemandirian, daya kerja dan semangat kerja yang tangguh, enggak gampang putus asa ya, karena orang tua-orang tua kita dulu biasa melibatkan kita di tengah-tengah kita bermain dalam pekerjaan rumah tangga.

Ustadz Herfi itu ingat gitu waktu di kampung lagi asyik-asyik nyamakin layang-layang dipanggil sama ibu. Ya udah layang-layang sudah mau terbang dipanggil. Dipanggil untuk apa? Ternyata diminta untuk beli gula, diminta untuk beli minyak goreng gitu ke warung. Padahal kita juga tahu kok gitu. Ibu juga bisa beli itu sendiri tapi selalu melibatkan kita bahkan di tengah-tengah kita bermain. Itu menarik sekali. Dan ini penelitian 70 tahun lebih di Oxford University itu.

Maka berikan tanggung jawab-tanggung jawab kepada anak ya, dan jangan menunda ketika anak meminta kita untuk mengerjakan sesuatu yang pada saat itulah momentum untuk mengajarkan tanggung jawab gitu. Jangan khawatir, “jangan nak ini panas, jangan ini berat, jangan ini nanti lecet, jangan ini nanti rusak”, jangan. Jadi ketika ayahnya contohnya lagi nyuci mobil atau nyuci motor kemudian namanya anak walaupun tujuannya adalah pengin basah-basahan gitu, jangan kemudian disuruh pergi ke sana, main aja sana karena orang ayahnya merasa agak direcokin oleh anaknya itu nanti enggak selesai-selesai loh. Itu terulang terulang-terulang terekam terekam-terekam dalam diri anak. Begitu anak dewasa, orang tuanya nyuruh, anaknya enggak mau berangkat. Nah, itu kan juga salah kita sendiri gitu ya. Jadi, kapanpun anak ingin berpartisipasi dengan orang tuanya dalam pekerjaan-pekerjaan rumah, itulah momentum untuk mengajarkan tanggung jawab.

4.     Kemudian, anak di usia 7,8,9 ini perhatian terhadap pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci kendaraan dan seterusnya. Deliver tanggung jawab-tanggung jawab itu, basah-basahan gak apa-apa, basah-basahan wong nanti baju juga bisa di jemur kering lagi gitu ya. Anak pengin ikut-ikutan motong bawang merah di dapur sama ibunya. Usianya baru 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun. Lah kalau dia minta, ibu perhatikan anak, jeda, tolong hentikan aktivitas, ajarin bagaimana cara megang pisau. Ajarin bagaimana mengiris-iris bawang dan ajari bagaimana agar mata pisau itu tidak mengenai tangan, tidak melukai tangan. Jangan nunda-nunda.
Sebagian kita kalau kita lagi beraktivitas kemudian anak ikutan nimbrung di usia itu pengin-penginnya loh. Pengin-penginnya ya pengin ikutan nimbrung, kita kadang suka merasa tadi direpotin, khawatir enggak selesai-selesai terus kalimat kita kan itu sudah main aja sana. Begitu dewasa kita membutuhkan partisipasi anak dalam kegiatan rumah tangga. Ya. Akhirnya susah. Kenapa? karena sudah terakumulasi bahwa dia tugasnya adalah main? Maka ini momentum mahal.

5.     Kemudian mulai terlihat kematangan sosial, suka bergabung dalam kelompok-kelompok pertemanan. Maka di usia ini, 7 tahun ya usia belajar ya. Kalau usia kemarin, usia 4, 5, 6 walaupun 5 tahun ada yang sudah dimasukkan ke sekolah tapi 5 dan 6 itu adalah usia proses menanamkan cinta terhadap ilmu.

Kalau sudah 7 tahun sudah usia belajar, jadi bisa dibayangkan untuk menanamkan cinta 2 tahun ya 4, 5, 6 itulah mulai menanamkan cinta pada ilmu, maka 7 tahun belajar itu wajar. Maka ya jangan buru-buru kemudian mengajarkan ilmu secara teori tanpa kita melatih mental anak, mengajari anak untuk mencintai ilmu itu. Ustadz Herfi tidak menafikan adanya prestasi-prestasi yang luar biasa dari orang tua-orang tua yang anaknya usia 6 tahun dan seterusnya sudah memiliki hafalan-hafalan Al-Qur'an yang banyak itu masyaallah tabarakallah. Tapi pahami, tiap anak berbeda-beda dan itu bukan standar ya.

Standarnya adalah di usia 5 dan 6 itu cinta ilmu, cinta Qur’an. Adapun yang sudah punya hafalan berjuz-juz, enggak apa-apa. Yang penting tidak kehilangan pondasi cinta terhadap ilmu dan Al-Qur'an. Itu karena dulu ya ulama-ulama kita punya kebiasaan kalau ada orang bawa anak kecil kemudian ditanya, "Anakmu ini sudah hafal berapa juz?" gitu. Kok dia sampaikan sudah 10 juz, 20 juz, sedangkan anaknya masih di bawah usia 7 tahun gitu. Maka ya biasanya orang akan menegur orang tuanya, bukan menegur anaknya gitu ya. Yang ditegur orang tuanya. Kenapa? Karena secara apa? Secara ideal itu tidak demikian gitu. Kecuali ada kekhususan-kekhususan yang memang anaknya sendiri sudah punya rasa cinta terhadap ilmu, sudah punya rasa cinta terhadap Al-Qur'an, gitu ya.

Jadi ini hal yang mesti dipahami karena sebagian kita itu orang tua-orang tua yang begitu tahu anak tetangga, anak teman sekolah anaknya itu sudah punya keilmuan yang melampaui anaknya. Kemudian dia khawatir, dia gelisah. Dan sebenarnya khawatir gelisah enggak apa-apa. Yang menjadi masalah itu kemudian menekan anaknya. Akhirnya jadi enggak asyik mengajarkan ilmu-ilmu itu, menanamkan rasa cinta terhadap ilmu kepada anak jadi enggak asyik. Kenapa? Karena temannya yang ini sudah bisa ini, temannya yang itu sudah bisa itu. Kalau masih di bawah 7 tahun santai saja. Tapi santai itu jangan sampai kita juga tidak mengajarkan anak untuk cinta terhadap ilmu. Kenapa? Karena kalau kita berhasil mengajarkan cinta terhadap ilmu, terhadap Qur’an di usia 4, 5, dan 6, 7 tahun itu anak akan cinta dengan Quran.

Cinta dengan Quran itu melebihi anak yang pintar secara akademik. Kenapa? Karena dia belajar dengan cinta, tidak dengan kecerdasan IQ-nya. Dan orang yang belajar dengan cintanya, ya orang yang belajar dengan cintanya maka dia akan meraup pengetahuan-pengetahuan yang lebih luas, lebih dalam, lebih menarik dibanding orang yang memang belajar dengan kecerdasan IQ-nya tanpa ada rasa cinta terhadap ilmu itu.

Makanya dulu sebelum tahun 2019 ketika ustadz senang dengan kajian-kajian Quran itu. Makanya ya buku-buku tafsir sebenarnya sejak kuliah tahun 2004 itu ada dua buku yang selalu Ustadz bawa walaupun bukan mata kuliahnya itu. Yang pertama buku sirah, yang kedua buku tafsir. Dan Ustadz sendiri bukan jurusan ilmu Al-Qur'an dan tafsir di S1 itu ya sampai lulus 2011. Ustadz jurusannya syariah hukum Islam. Tapi senang aja dengan tafsir. Sehingga ketika ditanya tentang interaksi dengan ilmu Al-Qur'an dan tafsir, Ustadz mengatakan bahwa Ustadz itu ngajar tafsir, mengajar tadabur Al-Qur'an itu bukan karena latar belakang akademiknya (karena itu adalah ranah bidang ilmu Al-Qur'an dan tafsir), tapi karena punya rasa cinta terhadap kajian-kajian Al-Qur'an.

Maka, sekali lagi, pastikan anak tuh belajar dengan cinta dan itu bahan bakar yang sangat dahsyat. Oke.

6.     Kemudian terlihat kematangan kognitifnya ; mulai terampil membaca, menulis, berhitung. 


7.     Kemudian memiliki kesadaran akan jenis kelaminnya. Memilih teman bergaul. Dia sebelum usia 7 tahun berteman ya temenan dengan yang lawan jenis biasa saja. Tapi begitu sudah 7 tahun masuk sekolah itu sudah mulai berbeda interaksinya dengan lawan jenis. Dan ini adalah fitrah yang luar biasa untuk memudahkan kita orang tua. Apa? yaitu memisahkan anak di usia 10 tahun di tempat tidur dengan saudara kandungnya ketika lawan jenis, berbeda jenis kelamin. Jadi sebenarnya dasar-dasar potensi itu sudah Allah berikan kepada anak. Oke, tinggal kita orang tua yang merawat dan mengeksplorasi itu. 


8.     Kemudian mulai argumentatif dalam berdialog dengan orang tua dan guru. Argumentatif itu ya kalau sebelumnya ngobrolnya hanya sekedar ngobrol. Anak usia 4, 5, 6 tuh kalau nanya tujuannya bukan nanya, bukan jawaban, tapi tujuannya ingin mendapatkan respon dan perhatian saja. Kalau sudah 7, 8, 9, maka sudah bergeser tujuannya. Yaitu memang pengin mendapatkan jawaban. Nanti kalau enggak sesuai dengan imajinasinya ya dia akan berargumentasi. Dan ketika anak menyampaikan argumentasinya maka jangan dipatahkan. Nanti akan memandulkan apa? Kecerdasan mantiqi, kecerdasan logika anak. 


9.     Kemudian memiliki perasaan yang religius. Tolong digaris bawahi poin yang terakhir itu. Jadi usia 7, 8, 9 itu anak kondisinya sangat religius. Religius itu kalau di dalam religius itu kan sebenarnya nilai-nilai keagamaan yang sifatnya tentang keimanan, tentang akidah, tentang hal-hal yang enggak kelihatan.

Oke lah dalam konteks yang lebih luas, makanya sering kita dapati ya anak di usia 7 8 9 kalau dia nonton, zaman saya kecil dulu ya film-film di mana ya kayak Dragon Balls, orang bisa mengeluarkan api dari tangannya entah proses keluarnya api itu gimana itu, itu tertarik. Kenapa? Karena itu babnya bab tentang ke kekuatan spiritual, kekuatan kegaiban. Jadi sangat religiuslah anak di usia itu. Maka dia senang berdoa, senang ke masjid  dan melakukan hal-hal religius lainnya yang bersifat religius lainnya. Jadi anak sangat religius ya di usia itu, dan bahkan ketika doa pun juga doa tentang sesuatu yang apa ya? sesuatu yang sangat sepele.
Maksudnya bukan sepele yang di luar apa yang dipikirkan oleh orang tua itu. Ustadz pernah dengar ada orang tua yang menceritakan anaknya itu berdoa agar orang tuanya itu apa? agar orang tuanya itu meninggal dunia supaya bertemu dengan Allah Subhanahu wa taala gitu. Dalam kerangka berpikir kita orang dewasa, kayak begini ini ya gak akan kita lakukanlah. Syukur ya doa kita kan supaya orang tua itu kan usianya panjang gitu tapi anak sangat religius gitu.

Kalau Ustadz secara pribadi dulu di usia-usia segini ini suka berdoa karena pagi hari sekolahnya di sekolah dasar negeri, sore hari sekolahnya di madrasah diniah. Kalau siang itu selalu berdoa walaupun musim kemarau agar Allah menurunkan hujan. Karena kalau hujan bisa punya alasan untuk enggak sekolah di sore hari. Jadi sangat religius ya anak di usia itu. 


 

SATU : Kebutuhan Anak ; Dahaga Religiusitas 

Ada kebutuhan anak di usia 7, 8, 9 yang mesti kita penuhi dan Ustadz membuat redaksinya adalah dahaga religiusitas pada anak. Jadi kita mengenyangkan dahaga religiusitasnya. Jadi yang ingin  dipertebal di usia 7, 8, 9 adalah sisi religius pada anak. Kebutuhan itu pada anak. Kalau kebutuhan makanan, insyaallahlah kita orang tuanya sudah perhatian dan sangat memperhatikan. Nah, sekarang kita pengin semuanya fokus pada sisi spiritual anak. Kenapa? Karena usia 7, 8, 9 anak-anak itu sudah mulai memperhatikan hal-hal yang sifatnya spiritual, sudah mulai pemaknaan terhadap hal-hal yang sifatnya spiritual. Dan jangan sia-siakan momentum itu. 

 

Kita harus gunakan sebaik-baiknya untuk membentuk apa? Untuk membentuk spiritualitas anak. Karena anak kita itu tidak hanya onggokan fisik saja, anak kita juga tidak hanya onggokan jiwa saja, tapi anak kita punya dimensi lain. Unsur dalam dirinya, fakultas dalam dirinya namanya adalah sisi spiritual. Kalau ini dididik dengan baik, maka sisi spiritual inilah nanti yang akan menyebabkan anak memiliki mental yang baik dan juga memiliki kendali atas anggota tubuhnya ini. Jadi, kita para orang tua perlu melihat diri anak secara utuh ya. Melihat diri anak secara utuh itu tidak hanya zahirnya saja, tapi dalam daripada zahir itu. Dalam diri anak ada unsur akal, ada unsur nafsu, ada unsur hati dan juga ada unsur spiritual atau unsur roh. Dan itulah anak kita. Dan masing-masing unsur ini bekerja satu sama lain yang harus sesuai dengan fungsinya. Kalau tidak sesuai dengan fungsinya yang terjadi adalah disfungsi fisik. Tangan yang mestinya digunakan untuk membantu orang, tapi digunakan untuk memukul orang. Jadi itu tangan yang keluar dari fungsi utama Allah ciptakan. Karena apa? Karena tadi kita tidak komprehensif melihat diri anak.

 

Mari kita bawa kebutuhan anak di usia ini untuk dipenuhi sisi-sisi spiritualitasnya atau religiusitasnya. Walaupun kata spiritual sama religius itu ada dua hal yang berbeda. Tapi gak apa-apa, yang jelas kita ingin memenuhi unsur rohnya anak kurang lebih gitu, dengan nilai-nilai religi.

 

Ada buku bagus, karya Dr. Hani Al Abdul Qadir. Beliau mengatakan dalam bukunya tersebut, "Di usia 7 tahun kekasihmu, yaitu Rasulullahi Muhammad sallallahu alaihi wasallam memintamu agar menyuruh anak-anakmu mengerjakan salat, di mana anak-anak di usia ini memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari keadaan-keadaan karena ingin memperhatikan dan mengamati apa yang menarik baginya. Kecenderungan penghayatan dan isolasi diri ini mengingatkan kita akan hikmat besar di balik perintah Nabi kepada para orang tua agar menyuruh anaknya salat. Sebagaimana hadis sahih yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dan Abu Dawud dan yang lainnya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, "Ajarilah anak kecil salat di usia 7 tahun." Dalam riwayat yang lain, "Suruhlah anak salat jika telah sampai usia 7 tahun." Dalam riwayat lain, "Perintahkanlah anak kalian salat ketika berusia 7 tahun."

Ada beberapa hal menarik dari pernyataan Dr. Hani Al Abdul Qadir bahwa ada hubungan antara perintah mengerjakan salat dengan anak di usia 7 tahun dari kacamata psikologi. Dimana anak-anak di usia 7 tahun itu kata beliau adalah usia dimana anak punya kecenderungan untuk menarik diri dari keadaan-keadaan. Menarik diri itu artinya begitu dia mengalami banyak hal, banyak situasi yang ada di sekitarnya, tapi dia bisa menarik diri dari banyak hal itu untuk memperhatikan sesuatu lebih detail yang itu menarik baginya. 

 

Dan kata memperhatikan dan mengamati ; memperhatikan dan mengamati itu lebih dibangun di atas kesadaran dibanding anak sebelum usia ini. Kalau usia sebelumnya anak mengamati ya karena memang mengamati, mengamati – merekam, mengamati-merekam, tapi kalau sudah 7 tahun mengamatinya sudah dengan akal dengan kesadaran. Makanya dalam kajian fikih para ulama menyebut 7 tahun itu usia mumayyiz. 

 

Mumayyiz itu membedakan secara bahasa artinya maksudnya adalah anak sudah bisa membedakan dengan akalnya, tidak hanya dengan nafsunya, mana yang baik dan mana yang tidak. Usia 7 tahun ini ya Allah sudah mulai melakukan aktivasi terhadap unsur akal dalam diri anak kita. Karena akal sudah mulai diaktivasi maka ada aktivitas akal, yang dilakukan oleh anak yang sebelumnya tidak terlalu menggunakan akal itu dalam beraktivitas tersebut. Apa? Memperhatikan dan mengamati. Memperhatikan mengamati itu yang bekerja adalah akalnya. Maka, karena itulah anak punya kecenderungan untuk melakukan penghayatan, melakukan isolasi diri. Isolasi diri itu sebenarnya dimana anak menarik diri dari banyak hal untuk fokus pada sesuatu yang menarik baginya. Karena suasana kejiwaan anak tuh sudah mampu seperti itu di usia 7 tahun, maka Nabi menyuruh para orang tua untuk apa? Untuk memerintahkan anaknya mengerjakan salat mulai usia 7 tahun. Kenapa kok demikian? 

Ini masih lanjutan dari kalimat Dr. Hani Al Abdul Qadir, karena “salat adalah ibadah yang memerlukan tingkat kontemplasi, refleksi dan isolasi psikologis”. 

 

Dan anak sudah memiliki kemampuan untuk itu di awal-awal. ini adalah anak sudah memiliki kemampuan itu ; ya kontemplasi, refleksi, dan bahkan kemampuan untuk melakukan isolasi psikologis di awal-awal usia 7, 8, 9. 

 

Isolasi psikologis itu artinya adalah anak di tengah keramaian tapi anak bisa diam memperhatikan apa yang menarik baginya. Kalau sebelum ini ya apa saja dia lagi asyik melakukan sesuatu, teman di sampingnya asyik melakukan sesuatu yang lain, dia bisa saling mempengaruhi satu sama lain. Akhirnya pindah main, pindah main, pindah main. Kalau ini tidak. 

 

Salat itu adalah ibadah yang membutuhkan isolasi psikologis dan anak di usia 7 tahun sudah mampu melakukan itu. Salat ibadah yang membutuhkan refleksi. Anak ya di usia 7 tahun yang dikenal sebagai usia mumayiz sudah mampu melakukan itu. Salat adalah ibadah yang memerlukan tingkat kontemplasi dan anak di usia 7 tahun yang sudah mumayiz itu mampu melakukannya versi anak-anak. Oke. 

 

Jadi itu hubungan antara usia 7 tahun dengan perintah Nabi untuk menyuruh anak mengerjakan salat. Karena karakteristik ibadah salat itu ya yang esensinya adalah ibadah kontemplatif, ibadah reflektif dan ibadah yang mesti dilakukan dengan mengisolasi psikologi kita. Artinya mengisolasi jiwa kita. Kita di tengah keramaian tapi kita memutuskan diri kita dari keramaian itu untuk fokus pada Allah Subhanahu wa ta’ala. untuk fokus pada apa yang menjadi perhatian kita itu, isolasi psikologis itu demikian. 

 

Terus apa peran orang tua di usia ini? 

 

Peran Orangtua

 

Dr. Muhammad Khair Sya'al mengatakan di usia 7, 8, 9 tahun, orang tua punya peran yang sangat penting karena ini adalah usia krusial. Ini usia krusial terakhir karena setelah ini, usia 10, 11, 12 sebagian dari anak-anak kita sudah ada yang baligh. Walaupun akhir usia baligh adalah 15 tahun, tapi di usia 10, 11, 12 sudah ada anak yang memasuki usia baligh. Maka ini adalah usia krusial terakhir ya dari dua fase sebelumnya 4, 5, 6 dan 1, 2, 3 itu krusial juga. Ini yang terakhir. Penting banget karena habis ini anak usia 10 tahun, 11 tahun, 12 tahun dia sudah menjadi dirinya sebagai hamba Allah yang kalau melakukan kesalahan ada kompensasinya, melakukan kebaikan pun juga ada kompensasinya dari agama ini. Oke. 

 

Maka ini hal yang mesti diperhatikan yaitu mengurangi interaksi. Sebenarnya kalimatnya dokter Muhammad Khir Asya'al itu menjauhkan, tapi karena sudah terlalu dekat, maka Ustadz terjemahkan, diubah dengan kata mengurangi. Ini sudah pilihan kata yang sangat realistislah untuk masyarakat modern hari ini. Kalau TV bolehlah dulu zamannya TV, kemudian awal-awal smartphone dan seterusnya boleh menjauhkan anak karena sekarang anak sudah dekat. Setidaknya dikurangi. Mengurangi interaksi anak dengan smartphone ya. Kalau bahasa Dr. Muhammad Khair itu dari televisi. Karena hari ini TV analog juga sudah enggak beroperasi. Enggak terlalu banyak ditonton juga, anak lebih senang nyecroll TikTok, kemudian review game di YouTube, kemudian ada Netflix dan seterusnya seterusnya itu. Maka istilahnya kurangi interaksi dengan gadget, yang lebih berhubunganlah dengan kehidupan kita hari ini. 

 
Melibatkan anak secara aktif dalam aktivitas-aktivitas ibadah. 

 

Itu yang harus dilakukan. Jadi, selain mengurangi maka ya penggantinya apa? Melibatkan anak secara aktif dalam aktivitas-aktivitas ibadah. 

 

Melibatkan anak secara aktif dalam aktivitas social.

 

Kemudian aktivitas sosial, kalau kita bikin program untuk membantu sesama, libatkan anak dalam program-program sosial itu. Kalau ada paket-paket yang mesti kita bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan libatkan anak dalam packaging paket-paket itu bahkan dalam proses belanja. Bahkan dalam proses membuat item-item apa yang mesti dibagikan. Jadi aktivitas ibadah, aktivitas sosial, kemudian aktivitas pekerjaan rumah, libatkan anak. Jangan sampai anak enggak terlibat. 

 

Ketika kita punya kolam ikan contohnya dan kita pengin nguras, libatkan anak dalam menguras kolam ikan itu. Ya, ketika kita lagi pengin membersihkan lantai, libatkan anak dalam proses itu. Kita pengin motong rumput di depan rumah, libatkan anak. Dalam hal itu, kita pengin jemurin baju, libatkan anak dalam hal itu. Bahkan zaman dulu enggak ada yang dikerjakan pun gitu, maka orang tua itu selalu punya kreativitas didalam menyibukkan anak dalam aktivitas-aktivitas rumah tangga. 

 

Malam hari sudah selesai belajar. Ustadz masih ingat dulu itu Bapak kemudian tidur tengkurep lalu memanggilnya, minta untuk apa? Untuk nginjek-nginjek. Jadi enggak perlu manggil tukang pijat. Pada waktu itu anaknya disuruh nginjek-nginjek. Dikasih tahu nginjak yang situ agak lama. Cara nginjeknya bagaimana. itu kan sebenarnya proses bonding yang luar biasa gitu ya. Jadi ya sebenarnya nginjak-nginjak orang tua itu aktivitas dahsyatlah, luar biasa itu dampaknya terhadap psikologi anak. Oke. Jadi sibukkan anak dengan libatkan anak dalam aktivitas itu.

 

Melakukan Dialog-Dialog Kontemplatif (Deep Talk) terhadap apa yang terjadi di Sekitar Anak

 

Dan juga melakukan dialog-dialog kontemplatif. Kalau boleh diterjemahkan ya deep talk itu istilahnya, terhadap apa yang terjadi di sekitar anak ya. 

 

Contoh Deep Talk

 

Ada beberapa contoh deep talk yang bisa kita lakukan dengan anak-anak kita. Dan kalau melihat Qur’an surah Luqman ayat 12 sampai ayat 19 itu ya sebenarnya adalah dialog kontemplatif antara ayah dengan anak. 

 

وَلَقَدۡ اٰتَيۡنَا لُقۡمٰنَ الۡحِكۡمَةَ اَنِ اشۡكُرۡ لِلّٰهِ ؕ وَمَنۡ يَّشۡكُرۡ فَاِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهٖ ۚ وَمَنۡ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ‏  ١٢

Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji."

 

وَاِذۡ قَالَ لُقۡمٰنُ لِا بۡنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَىَّ لَا تُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ ؕ اِنَّ الشِّرۡكَ لَـظُلۡمٌ عَظِيۡمٌ‏ ١٣

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."

 

وَوَصَّيۡنَا الۡاِنۡسٰنَ بِوَالِدَيۡهِ ۚ حَمَلَتۡهُ اُمُّهٗ وَهۡنًا عَلٰى وَهۡنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِىۡ عَامَيۡنِ اَنِ اشۡكُرۡ لِىۡ وَلِـوَالِدَيۡكَؕ اِلَىَّ الۡمَصِيۡرُ‏  ١٤

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.1 Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.

 

وَاِنۡ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنۡ تُشۡرِكَ بِىۡ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهٖ عِلۡمٌ ۙ فَلَا تُطِعۡهُمَا وَصَاحِبۡهُمَا فِى الدُّنۡيَا مَعۡرُوۡفًا وَّاتَّبِعۡ سَبِيۡلَ مَنۡ اَنَابَ اِلَىَّ ۚ ثُمَّ اِلَىَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَاُنَبِّئُكُمۡ بِمَا كُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ‏  ١٥

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

 

يٰبُنَىَّ اِنَّهَاۤ اِنۡ تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةٍ مِّنۡ خَرۡدَلٍ فَتَكُنۡ فِىۡ صَخۡرَةٍ اَوۡ فِى السَّمٰوٰتِ اَوۡ فِى الۡاَرۡضِ يَاۡتِ بِهَا اللّٰهُ ؕ اِنَّ اللّٰهَ لَطِيۡفٌ خَبِيۡرٌ‏ ١٦

(Lukman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus,1 Mahateliti.

 

يٰبُنَىَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَاۡمُرۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَانۡهَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ وَاصۡبِرۡ عَلٰى مَاۤ اَصَابَكَ ؕ اِنَّ ذٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ الۡاُمُوۡرِ ۚ ‏ ١٧

Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.

 

وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِى الۡاَرۡضِ مَرَحًا ؕ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ فَخُوۡرٍۚ‏ ١٨

Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

 

Maka efek dialog itu terhadap kejiwaan sang anak, dahsyat. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa anaknya Lukman itu pada awalnya berbeda keyakinan dengan bapaknya. Dan beberapa riwayat yang lain menyebutkan kalau anaknya Lukman itu yang lagi diajak ngobrol sama Lukman yang diceritakan oleh Allah di Quran surat Luqman ayat 12 sampai 19 itu sebenarnya membangkang gitu. Tapi masyaallah tabarakallah itu dialog gak hanya sekedar dialog, tapi itu obrolan yang sangat mendalam antara anak dan orang tua yang setelah dialog itu yang terjadi adalah anaknya Lukman itu bertaubat kembali mengikuti kebaikan-kebaikan yang diperintahkan oleh orang tuanya. 

 

Makanya ya kemudian diabadikan oleh Allah, walaupun Lukman itu bukan nabi, tapi yang kemudian diceritakan oleh Allah dalam kitab suci yang dibaca oleh muslimin sampai akhir zaman nanti. Dan obrolan-obrolannya adalah itu. Tapi itu semuanya penuh dengan pemaknaan, yang ngobrolin tauhid, ngobrolin salat, ngobrolin bakti pada orang tua gitu kan. Ngobrolin tentang amal kebaikan dan seterusnya. Maka efeknya dahsyat. 

 

Kita bisa kok melakukan itu kepada anak kita dengan hal-hal simpel saja yang terjadi di sekitar ya. Ketika kita melihat adanya semut-semut yang melakukan migrasi sambil bawa telur, sambil bawa makanan. Ya, terkadang kalau di kendaraan kita ada yang manis-manis. Terkadang begitu kita buka, ternyata di bawahnya sudah banyak semut yang membawa telur-telur dan simpanan makanannya yang ada di situ. Hal-hal begitu itu bisa menjadi tema obrolan yang imani banget dan itu adalah menyirami dahaga religiusitas anak tadi. Jadi sebenarnya spiritual anak sedang kita sirami terus dengan deep talk seperti ini. 

 

Kemudian kita nonton ada tuh bagaimana induk burung memberi makan kepada anaknya, meloloh makanan kepada anaknya itu kalau menjadi bahan obrolan mendalam dengan anak luar biasa. Jadi banyak hal-hal di sekitar kita yang mesti kita tangkap dan itu bisa menjadi air segar untuk spiritualitas anak. Maka, dulu Nabi Muhammad pintar menarik apapun yang ada di sekitar ini jadi materi ajar untuk mengenyangkan laparnya spiritual para sahabat. Untuk membasahi keringnya spiritualnya para sahabat. Nah, tinggal kita para orang tua kalau di rumah, guru di sekolah harus pintar-pintar tuh. 

 

Makanya, sarana pendidikan tuh enggak perlu yang canggih-canggih. Canggih, tapi kita enggak mampu untuk mengeksplorasinya juga sama aja. Sekitar kita banyak ya. Duduk depan rumah ada pohon mangga yang sudah menguning. Ada yang masih hijau, ada yang sudah menguning. Kemudian ada yang ada yang sudah warnanya coklat, kemudian ada yang jatuh ke bawah. Itu pun juga hal yang bisa kita jadikan sebagai obrolan imani dengan anak. itu kita tinggal nanya kepada anak kita ya, kenapa itu daun-daun yang sudah menguning gitu lama-lama berwarna coklat kemudian dia jatuh berguguran. Kita bisa tanyakan hal-hal itu. Kemudian anak akan berpikir mencoba menyampaikan pendapatnya, apresiasi. Tapi juga jangan lupa itu kita sampaikan juga apa perenungan kita, agar tercopy paste dalam diri anak kita. Apa ya? kita sampaikan bahwa daun-daun yang sudah menguning itu harus jatuh, harus gugur ke bawah karena akan ada daun-daun muda, tunas-tunas baru yang harus ditumbuhkan oleh pohon itu. Maka di situlah nanti munculnya pengorbanan. Karena dia harus gugur untuk menumbuhkan seminya. Dan ternyata yang gugur itu enggak sia-sia juga. Kenapa? Karena begitu gugur ke tanah maka dia akan menjadi pupuk yang sangat menyuburkan pohon yang daun itu pernah ada di atas dahan dan rantingnya. gitu. Makanya begitu Ustadz menyimak beberapa podcast tentang pertanian, kemudian video-video pendek tentang pertanian itu ketika enggak punya tanah yang luas hanya menggunakan polybag itu contohnya ya. Pupuk terbaik untuk tanaman itu adalah daunnya itu sendiri.

 

Kemudian kita ajak lagi untuk lebih deep lagi obrolannya, lebih dalam lagi obrolannya. Apa? Kita minta anak kita untuk menghitung ya. Menghitung apa? Berapa banyak satu pohon mangga di depan rumah ini yang jatuh. Oke, kita minta untuk ngitung. Oke, dia mencoba untuk menghitung 1,2,3 dan seterusnya. Kemudian kita tanya kapan jatuhnya pohon daun yang ini, kapan jatuhnya daun yang itu? Dan pasti anak tidak memiliki jawaban. Anak pasti anak gak bisa menjawab kapan jatuhnya daun yang ini, kapan jatuhnya daun yang itu dan seterusnya. 

 

Kita ajak untuk berpikir lebih deep lagi gitu ya. Jadi bertahap, bertahap, bertahap, lebih dalam, lebih dalam, lebih dalam dan itu bisa sampai pada akhirnya, konklusinya kita sampaikan firman Allah dalam Quran surah Al-An'am ayat 59. 

 

“Kunci-kunci semua yang gaib ada padanya. Tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahuinya…”

 

Coba lihat ya. Mulai dari tema tentang daun sampai ke tema tentang ruhiah, tentang spiritualitas. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan sudah tertulis di kitab yang nyata atau laghul mahfuz. 

 

Jadi banyak hal yang bisa kita obrolin dengan anak-anak kita ya.

 

Enam kaidah Pendidikan Religiusitas. 

 

Tolong diperhatikan. Ya, ada enam kaidah untuk mendidik anak agar terawat fitrah religinya. 

1.     Kelembutan

2.     Pujian

3.     Kenangan Indah

4.     Hadiah

5.     Hukuman

6.     Keteladanan

 

Kaidah itu aturan. 

 
Aturan yang pertama adalah aturan kelembutan. Gimana aturan kelembutan itu? 

Aturan kelembutan itu apa? buat ketertarikan anak terhadap ajaran-ajaran agama ini dengan cinta, dengan kasih sayang. Bahwa betapa indahnya agama kita, betapa Rahmaan dan Rahimnya Allah itu. Betapa sayangnya Allah kepada manusia. 

 

Keutamaan-keutamaan amal kalau kamu membaca subhanallah, sama Allah tuh langsung memerintahkan malaikatnya untuk membangunkan satu pohon untukmu di surga. Dan tahu gak, kamu satu pohon di surga itu seperti apa? Satu pohon di surga itu rindangnya 100 tahun perjalanan. Dan itu cukup kamu membaca subhanallah gitu ya. 

 

Kemudian baca apalagi? Jadi betapa lembutnya agama ini, betapa baiknya Allah, betapa sayangnya Allah, betapa menggembirakannya, betapa asyiknya agama ini. Karena yang hilang dari generasi kita hari ini adalah itu, agama itu dianggap gak asyik. Sehingga mereka mencari keasyikan-keasyikan di hal-hal yang tidak ada nilai-nilai agamanya. Karena ngerasa agama enggak asyik itu. 

 

Nah, itu ya karena kesalahan kita ataupun kesalahan kita sebagai orang tua atau sebagai guru yang tidak pandai menceritakan keasyikan agama ini. Oke, kita tahu ada neraka dengan ada amal keburukan, dengan semua konsekuensi nerakanya. ada. Tapi coba kita bisa memilih-milih mana sesuatu yang begitu kita ceritakan kepada anak, menjadikan agama ini asyik bagi anak. Jadi sampaikan agama ini dengan lemah lembut supaya agama ini asyik bagi anak. 

 
Kemudian yang kedua aturan pujian. 

Puji anak ketika anak melakukan kebaikan-kebaikan. Ya, puji anak ketika melakukan amal saleh-amal saleh ke masjid. Apresiasi anak walaupun datang ke masjidnya sudah masbuk, tapi berikan apresiasi itu. 

 

Kemudian apa? ya bantu orang tua, apresiasi itu karena ada hal penting dalam pendidikan kepribadian anak, yaitu segala sesuatu setiap perilaku, yang setiap perilaku baik yang dilakukan oleh anak kemudian dipuji oleh orang tua, maka perilaku baik itu akan terulang-ulang. Sebaliknya, perilaku baik yang dilakukan oleh anak dan didiamkan oleh orang tua, tidak dipuji, maka ya perilaku itu akan berhenti sampai di situ, enggak akan terulang lagi.

 

Nah, sehingga ketika anak sekedar hafal surat separuh juz 30- Adduha sampai Annas. Apresiasi dia. Kenapa? Karena begitu kita puji maka akan menyebabkan anak untuk mengulang kebaikan yang serupa. Jadi kebaikan yang dipuji itu akan menjadi semangat untuk mengulangi kebaikan yang sama. Dan kebaikan yang tidak dipuji, maka itu akan menyebabkan kebaikan itu berhenti. Makanya Nabi Muhammad itu memuji sekecil apapunlah kebaikan yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya. Apalagi kebaikan-kebaikan besar pasti dipuji oleh Nabi gitu. Jadi, Nabi itu enggak bakhil pujian walaupun amal itu sangat kecil sekali itu. 

 

Makanya ya Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam itu kalau manggil Sayidina Hasan dan Sayidina Husein. Hasan dan Husein itu ketika Nabi meninggal dunia usianya sekitar 7 dan 6 tahun. Tapi Nabi mengatakan, bahwa kedua anakku ini akan menjadi pemimpin pemuda di surga. Dan tidaklah orang masuk surga kecuali mendapatkan Rahmatnya Allah. Gak mendapatkan rahmatnya Allah kecuali dia memang melakukan amal-amal kebaikan, kan gitu. 

 

Jadi kebaikan sekecil apapun yang dilakukan oleh anak berikan pujian. Kita tentu tahu Imam Adz-Zahabi. Imam Adz-Zahabi itu temannya Ibnu Katsir. 

 

Imam Adz Zahabi itu temannya Ibnu Katsir. Kalau Ibnu Katsir itu ahli tafsir dan sejarah. Kalau Imam Zahabi itu ahli hadis ya, khususnya dalam tema perowi-perowi hadis, rijalul hadis. Makanya beliau punya buku yang sangat tebal, isinya biografi para ulama. Mulai dari zaman Nabi sampai ulama abad ke-8 Hijriah, dikumpulkan semuanya, diceritakan biografi-biografinya. 

 

Dan Imam Zahabi itu cerita dulu ketika masih kecil, beliau itu nulis di sekolah. Kemudian gurunya itu melihat tulisannya, gurunya cuma mengatakan, "Inna khza yusbihu khol muhaddisin." Sesungguhnya tulisanmu ini mirip banget seperti tulisannya ahli hadis, ya. Maka Imam Zahabi mengatakan kalimat itu, kemudian bagaimana kalimat itu memotivasi dirinya untuk menjadi ahli hadis, sehingga beliau menjadi ahli hadis besar di abad tersebut. Itu cuma gara-gara satu kalimat gurunya ketika masih belajar. Nah, itu ya. Jadi puji. 

 

Kemudian berikutnya, lukislah kenangan indah pada anak. 

Ya, kenangan indah. Apa sih artinya? Ya, artinya adalah buat kenangan-kenangan indah saat melakukan ibadah kepada anak. 

 

Seperti apa? Kenangan indah anak dalam mengerjakan qiyamulail, kenangan indah anak dalam menghafal Quran. Ya, buat kenangan-kenangan yang indah pada anak dalam membantu orang tuanya. Nah, itu kenangan indah pada anak dalam belajar, dalam thalabul ilmi. Kenangan indah yang anak dengan masjid, kenangan indah dengan Quran, kenangan indah dengan qiyamulail, kenangan indah dengan puasa, kenangan indah dengan apapun. 

 

Para sahabat Nabi menceritakan bahwa ketika mereka itu masih kecil diajak oleh orang tuanya, diajak oleh orang tuanya untuk berpuasa. Nanti kalau sudah mulai lapar dan seterusnya, maka dibuatkan mainan oleh orang tuanya, dihibur dengan mainan lagi oleh orang tuanya. Sehingga amal-amal ibadah itu terkenang indah dalam diri anak. 

 

Efeknya apa? Efeknya anak tidak mengalami trauma amal saleh. Karena trauma amal saleh itu susah loh nyembuhinnya. Ya, maka kita hari ini di masjid-masjid terkadang kita itu terlalu kasar kepada anak dalam memperlakukan anak di masjid. Iya, mereka ramai ya. Mereka ramai tapi tidakkah ada cara yang lebih lembut, lebih santun? untuk ngobrol dengan anak yang ramai itu. Tapi terulang-ulang terus, terulang-ulang terus, terulang-ulang terus itu, dan yakin enggak akan lebih dari 3 tahun. Begitu 3 tahun sudah beda orang lagi, itu beda anak lagi. 

 

Itu artinya anak yang kita tegur enggak ada 3 tahun kalau kita ajak dialog akan baik. 3 tahun berikutnya sudah ganti adik-adiknya lagi. Itu sudah beda orang yang ramai di masjid itu. Jadi, kalau kemudian Ustadz berkali-kali ngisi di masjid A, masjid B, masjid C, masjid D dan seterusnya. Kalau ngobrol sama DKM diantara hal yang dikeluhkan oleh DKM adalah regenerasi. Regenerasi pemuda-pemuda masjid gitu. Dan permasalahannya apa? Ya kalau kita mau evaluasi dan jujur dalam evaluasi, terkadang kita punya saham untuk menjauhkan anak dari masjid dengan apa? Dengan melukiskan kenangan yang buruk tentang masjid pada anak. Nah, itu itu bahaya loh. Dan kita tahu kok satu dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah itu adalah rajulun qolbuhu muallaquun bil masajin. Orang yang hatinya bergantung pada masjid itu. Sehingga ya kita banyak mendapati masjid banyak diisi oleh orang-orang yang sepuh-sepuh karena itu. Dan bagaimana kemudian orang itu hatinya baru bergantung kepada masjid? sudah di usia senja gitu. Bagus ya ke masjid (sudah sepuh) tapi akan lebih dahsyat lagi kalau memang mereka sejak dini hatinya sudah bergantung pada masjid. Apalagi masjid akan menjadi ruang sosial pendidikan ketiga setelah rumah dan sekolah. 

 

Jadi harus pandai-pandai membangun kenangan indah dalam ketaatan. Karena ada orang melakukan ketaatan tapi kenangannya buruk. Ya, ada orang punya kenangan dalam kebaikan, tapi kenangannya itu gak enak. Jadi, kenangan indah ini kaidah penting nomor tiga yang perlu dilatih.  Banyak contoh yang dilakukan oleh Nabi, oleh salafus saleh dulu. Bagaimana membuat kenangan yang indah dan menyenangkan bagi anak didalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

 

Kemudian yang nomor empat adalah memberikan hadiah. 

Ya. Berikan hadiah apapun itu, enggak perlu mahal tapi yang penting adalah hadiahnya itu. Dan makanya juga mesti hati-hati ya. Mesti hati-hati dalam memberikan fasilitas kepada anak sejak usia dini karena kita khawatir terlalu berlebihan. Jika berlebihan itu sudah pasti enggak baik. 

 

Baik yang berlebihan aja pasti enggak baik, disebabkan karena berlebihannya, apalagi kalua itu enggak baik berlebihannya, makin enggak baik lagi. Hati-hati dengan berlebih-lebihan dalam memberikan fasilitas kepada anak. Karena itu nanti yang akan membuat anak mati rasa terhadap hadiah yang kita berikan. 

 

Jadi harus cermat nih kita orang tua, walau punya duit banyak iyalah enggak apa-apa tapi tetap harus cerdas dan cermat dalam memberikan fasilitas kepada anak agar apa? Agar di kemudian hari kita itu loh ngasih permen, ngasih coklat kepada anak itu menyenangkan banget gitu loh. Anak enggak mati rasa, enggak nganggap alah cuma permen, alah cuma coklat gitu. Kalau gitu aku yo bisa beli sendiri. Wong aku biasanya dikasih duit segini gitu ya. Jadi sebenarnya anak dikasih hadiah tapi kok enggak excited ya tadi itu. 

 

Anak dikasih hadiah coklat. Coklatnya mahal sebenarnya satu batangnya Rp50.000 Rp75.000 gitu tapi kok biasa aja ya? enggak kemudian memotivasi anak untuk melakukan amal yang lebih baik lagi setelahnya. Wah jangan-jangan kita yang punya saham dalam membuat anak tuh mati rasa terhadap hadiah tuh. Makanya ketika Ibnul Qayyim Aljauziyah bercerita tentang fasilitas orang tua untuk anaknya itu, beliau menyoroti bahwa yang bertanggung jawab terhadap kerusakan mental anak ya sebenarnya adalah kesalahan orang tua di dalam memberikan fasilitas kepada anak yang tidak menggunakan ukuran sehingga tidak cermat. 

 

Kemudian yang kelima adalah hukuman. 

Hukuman di sini sebenarnya bukan hukuman yang sifatnya itu fisik ketika anak itu tidak melakukan amal kebaikan, tolong digaris bawahi. Suruhlah anakmu salat usia 7. Disiplinkan ketika usia 10. Ya, pukul kalau enggak mau salat ketika usia 10. Kalau masih 7, 8, 9 kita nyuruh anak kita salat, anak kok enggak mau salat. Yo, jangan dipukul. Jangan dijewer, jangan ditempeleng, jangan dicubit. Jadi sebenarnya secara hukum asal, anak itu kalau belum baligh kemudian enggak melakukan amal kebaikan itu enggak ada hukumannya. Jadi enggak ada dosa. Mereka enggak salat itu enggak dosa. Mereka enggak puasa itu juga enggak dosa gitu. 

 

Tapi, memberikan hukuman untuk mendidik anak supaya religius itu sebenarnya hukumannya bukan hukuman yang diberikan kepada anak kalau usianya sudah lewat dari 10 tahun. Hukumannya macam-macam. Hukumannya nanti dibahas di poin nomor dua.

 

Kemudian yang terakhir adalah keteladanan. 

Maka pahami. Walaupun kita pengin membiasakan anak mengerjakan salat, ya berarti harus kita mulai. Kita pun juga harus disiplin dalam salat kita. Kalau kita pengin mengajarkan anak itu senang baca Quran, ya berarti anak itu mesti melihat orang tuanya baca Quran, gitu ya. Kalau kita pengin anak kita itu mulai belajar menghafalkan Quran, maka anak juga mesti melihat orang tuanya berusaha melakukan itu. Walaupun anak pasti akan lebih cepat menghafalnya dibanding kita orang tuanya. Nah kalau kita terlihat oleh anak kita melakukan upaya-upaya itu, maka itu adalah keteladanan yang mahal. 

 

Apalagi salat ketika 7 tahun diperintahkan itu anak sudah melihat ibunya salat di rumah 8.400 kali itu. Karena taruhlah ibu-ibu dalam 1 bulan sehari salat lima waktu. Dalam 1 bulan taruhlah masa libur salatnya 10 hari. Jadi 20 hari salat. Kemudian 20 hari kalau seharinya 5 waktu ya berarti sudah 100. Dalam 1 tahun berarti sudah 1.200. Kemudian sampai anak usia 7 tahun berarti 8.400. Artinya anak melihat ibunya salat itu setidaknya 8.400 kali ya. Dan itu pemandangan yang sangat kuatlah untuk sebenarnya melandasi semangat anak untuk mengerjakan salat. Karena anak sudah biasa ngelihat ibunya salat bahkan dalam kurun waktu sebelum 7 tahun bisa 8.400 kali. Taruhlah yang usia 1 tahun enggak usah dihitung ya berarti tinggal 8.400 – 1200, 6.000. Nah 6.200 kali ngelihat itu wah banyak loh pasti hafal. Yang sekedar film Tom and Jerry itu diputar berulang-ulang aja sampai anak hafal kok habis ini ini habis ini ini habis ini ini habis ini, dan film Marsha and the bear itu juga sama diulang enggak ada jenuhnya tuh. Saun the ship juga sama sampai hafal tuh. Apalagi kita ngasih keteladanan salat tadi itu. Itu ya. Makanya boleh salat ketika di depan anak, takliman lahum sebagai bentuk pengajaran untuk mereka itu. 

 

DUA : Mencermati Problematika. 

 

Tiga hal penghancur bakat anak.  

Bakat itu hibah, pemberian yang Allah Subhanahu wa taala sudah berikan. Dan di antaranya adalah bakat religiusitas tadi itu. Jadi sebenarnya anak gak ada yang enggak. Enggak ada anak yang enggak religius itu sebenarnya enggak ada. Cuma kita orang tua terkadang menghancurkan itu. Sehingga anak tumbuh remaja itu kayak jauh dari agamanya. 

 

Sebenarnya anak melewati fase di mana dia sangat religius, sangat senang dengan nilai-nilai agama. Cuma enggak segera kita ikat bahkan kita hancurkan. Bakat atau pemberian religiusitas itu pada fitrahnya anak. 

 

Ada tiga hal yang mesti kita waspadai. 
 

Yang pertama, memukul anak. 

Ya, jadi memukul yang membuat anak terhina itu menghancurkan mental anak, tidak malah membangunnya itu. Jadi jangan sampai mukul anak di usia 7, 8, 9 tahun. Bahkan ketika anak itu tadi kita suruh salat itu untuk urusan salat loh ya. Apalagi kita orang-orang ini ya kadang karena keterbatasan ilmu kita atau terkadang motifnya adalah karena ego kesalehan kita. Jadi kesalehan yang egois. Penginnya di masjid itu salat dengan khusyuk dan tenang gitu. Tapi kemudian kita mengenyampingkan rambu-rambu ya, rambu-rambu sosial. Begitu anak di masjid ramai loh, kita marahin, kita omelin, bahkan kita sentil, ada yang dipukul, ada yang dibentak-bentak. Padahal usianya belum ada 10 tahun. 

 

Dibentak-bentak ke masjid itu untuk salat, bukan untuk main-main. Loh, anak itu loh ke masjid enggak salat juga enggak dosa ya. Anak itu di masjid enggak salat enggak apa-apa. Ikut orang tuanya usia 7 tahun, 8 tahun, 9 tahun ke masjid enggak salat enggak apa-apa, enggak dosa ya. Jadi Ustadz sebenarnya sering menyayangkan insiden-insiden seperti itu. Apalagi sampai memukul seperti itu. Padahal jangan sampai memukul anak sebelum usia 10 tahun kalau anak itu tidak melakukan amal kesalehan yang diperintahkan oleh agama. Jangan sampai itu. Kenapa? Karena dia enggak melakukan itu pun enggak berdosa. Dah intinya itu. 

 

Enggak berdosa itu apa? Artinya apa? Agama ini loh enggak menghukum anak, enggak nulis anak sebagai pendosa. Iya. dia melakukan sesuatu yang salah, tapi dia tidak ditulis sebagai orang yang salah oleh agama ini, gitu ya. Sehingga se-emosi apapun, jangan sampai memukul anak. 

 

Kemudian berikutnya ada hal-hal yang bisa kita lakukan sebagai pengganti memukul tuh apa? 

 

Nomor satu, menciptakan suasana rileks dan happy dengan anak. Jadi biasakan tiap hari kita itu enggak nyureng terus kalau ngobrol sama anak. Nyureng tuh (Bahasa jawa) ekspresi dekatin alis terus alis kiri dan alis kanan gitu. Tegang terus, serius terus. Jadi ciptakan suasana rileks, happy dengan anak-anak gitu. Dan suasana itu akan kita ubah saat anak tuh melakukan kesalahan. 

 

Nanti anak akan terasa, "Loh, kok ayah gini ya? Enggak biasanya loh ayah tuh begini gitu. Pasti ada yang salah. Jadi anak akan melakukan introspeksi diri. Pahami ya, jadi sebenarnya anak itu sudah memiliki bakat untuk menghukum dirinya sebelum dia itu dihukum oleh orang lain. Ya, kalau dalam dunia tasawuf disebut jiwa lawwamah, jiwa yang selalu mencaci maki pemiliknya. Jadi anak itu ketika melakukan kesalahan sebenarnya dia sudah dihukum oleh dirinya sendiri. Kalau sudah lewat 7 tahun berarti sudah ada penyesalan, dia sudah dihukum oleh dirinya. Maka begitu kita sudah terbiasa rileks, kita terbiasa santai, terbiasa banyak bercanda, happy dengan anak, kemudian coba cara yang sebagai ganti pemukul gimana? 

 

Begitu anak melakukan kesalahan, melakukan kesalahan bukan bersalah ya beda loh ya. Karena kalau bersalah anak belum ditulis salah atau benar tuh di usia ini. Tapi anak bisa melakukan kesalahan. Oke. Tapi anak ndak bisa dihukumi salah. Loh Tuhan saja enggak melakukan itu lah ngapain kita melakukan itu. Bahkan Tuhan itu sampai memerintahkan malaikat pencatat amal Rufi Alqalam untuk ngangkat pena dari kertasnya. Jangan ditulis. Tapi pahami, begitu anak melakukan kesalahan, tiba-tiba dia mendapati sikap ayahnya yang berbeda, yang biasanya banyak bercanda, jadi kelihatan datar. Itu akan sangat efektif di dalam menyadarkan anak, tapi akan hilang efektivitasnya kalau kita memang menjadi orang tua yang tegang setiap saat, enggak asyik. Jadi biasa aja. 

 

Maka poin nomor satu ini akan efektif kalau kita sudah menjadi orang tua yang asyik. Makanya ketika Nabi itu hanya sesaat saja mendiamkan sahabatnya, sahabatnya itu langsung introspeksi. Kenapa? Karena Nabi adalah guru yang asyik. Karena Nabi seperti orang tua yang asyik. Karena Nabi teman yang asyik. Lah kalau kita enggak asyik kemudian kita mendiam-mendiamkan seseorang, enggak akan membuat orang itu untuk melakukan introspeksi. Jadi syarat nomor satu itu ya, itu adalah apa? Itu adalah syaratnya kita harus jadi orang tua yang asyik dulu. Baru diam kita aja pendidikan baru, ekspresi wajah datar kita akan jadi senjata pendidikan tuh gitu ya. Bahkan mata kita yang tidak memperhatikan anak yang melakukan kesalahan itu bahkan akan membuat anak itu sadar melebihi ribuan kalimat-kalimat nasihat untuk menyadarkan anak itu. 

 

Makanya bisa dilihat nanti ketika Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berinteraksi dengan tiga sahabatnya yang tidak ikut perang Tabuk ya. Perang Tabuk itu tahun 9 Hijriah. Nanti silakan dibaca sirahnya. Ada tiga sahabat senior yang tidak ikut perang pada waktu itu. Ada tiga dan salah satunya adalah Ka'ab bin Malik. Kemudian Ka’ab bin Malik itu cerita, ini hadis riwayat Bukhari Muslim. 

 

Ka'bin Malik cerita, "Aku itu salat dekat dengan Nabi. Setelah selesai perang Tabuk itu aku salat di dekat Nabi. Kemudian aku itu mencuri-curi pandang terhadap Nabi.”

Mencuri pandang itu sebenarnya gak ngelirik, enggak secara langsung menatap, kelihatannya enggak ngelirik Nabi, tapi sebenarnya sedang memperhatikan Nabi. Oke. 

 

“Nabi itu kalau aku lagi salat tak lirik-lirik beliau itu melihat aku. Tapi begitu aku selesai salat salam kemudian aku nengok Nabi. Nabi itu enggak ngelihat aku.”

 

Jadi hal kayak begitu itu, hal kayak begitu itu ternyata senjata untuk menyadarkan kesalahan seseorang yang sangat ampuh. Syaratnya satu, kita jadi orang tua yang asyik dulu. Jadi mata ini sebenarnya senjata. Senjata untuk menyadarkan anak bahkan lebih tajam daripada tutur kata. Mata loh itu belum tutur kata. Makanya Nabi Muhammad yo efektif orangnya, efisien juga ngomongnya. Kenapa? Karena enggak perlu ngomong. Dengan pandangan mata pun orang yang salah itu akan introspeksi. Apalagi Ibnu Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya mata mata itu adalah gayungnya hati.” 

 

Jadi kalau hati itu kayak kolam untuk mengambil apa yang ada dalam kolam itu sebenarnya kelihatan di mata. Nah, di kolam itu isinya air warna apa, itu akan kelihatan di mata. Kurang lebih seperti itu. Dengan sorotan mata itu akan ketahuan kok sebenarnya seperti apa hati seseorang walaupun orang itu tidak berkata. Kata Ibnu Qayyim begitu. Makanya mata itu gantinya kita mukul itu. Kalau anak belum usia 10 tahun pakai mata saja. Tapi syaratnya satu, mata kita akan menjadi senjata untuk memperbaiki anak kalau kita sudah menjadi orang tua yang asyik. Dan enggak perlu melotot-melotot. Kalau memarahi anak enggak memukul dengan melotot, semua orang bisa. Tapi belum tentu melotot-melotot kita itu membuat anak sadar. Bahkan enggak perlu melotot. Gak kita perhatikan, enggak kita lihat aja ketika anak melakukan kesalahan itu akan membuat dia tersadar. 

 

Kemudian berikutnya, melarang untuk sementara dari permainan yang disukai oleh anak.

Dilarang sementara ya sementara dan harus tega, nanti sebenarnya yang akan menjadi penentu kita orang tua yang tega untuk kebaikan anak atau tidak. Terkadang begitu anak kita larang dari permainan, permainan sementara yang disukai oleh anak. Permainan yang disukai oleh anak hari ini smartphone, itu handphone itu enggak boleh main sampai jam sekian. Hari ini full itu kadang begitu sang ibu pengin menerapkan kedisiplinan begitu, bapaknya enggak tega. Sudah mah kasih aja. Ya… Kayak gini harus konsisten ya. Tapi sementara ya sementara, itu ya jangan kemudian lama enggak dikasihkan lagi. Jangan sementara hanya untuk didik. Jadi tolong di garis bawahi kata sementara itu. 

 

Kemudian menegur dengan cara tidak langsung. 

Memang gimana cara negur dengan cara yang tidak langsung? Ya, dengan bercerita. Bercerita yang esensinya itu adalah perbaikan, menyindir gitu ya. Tapi menyindir yang menyadarkan kesalahan yang dilakukan oleh anak. Ketika anak membentak ibunya, sang ayah kreatif. Dia nunggu momentum kemudian dia kasih cerita tentang bakti kepada ibu. kayak gitu tuh anak pintar. Kalau dari kecil kita latih begitu akan peka. 

 

Kemudian ruang introspeksi. 

Ruang introspeksi itu ya sebenarnya ruang yang kita gunakan di rumah kita untuk mendidik anak. Biasanya yang di ruang instropeksi ini yang memang melakukan kesalahannya sudah berlebihan. Berlebihan itu seperti mukul, banting, mecahin sesuatu. Jadi memang ya pokoknya dia mengekspresikan marahnya itu dengan cara berlebihan. Maka cara memperbaikinya ya di ruang introspeksi, di rumah, entah itu di kamar orang tuanya.

 

Untuk usia 7 sampai 8 setidaknya kita meminta anak kita untuk masuk ke dalam ruangan selama 10 menit saja untuk introspeksi. Itu kalau anak sudah melakukan apa? melakukan ekspresi atas emosinya. Kalau emosi enggak apa-apa. Tapi kalau sudah mengekspresikan emosi dengan cara berlebihan, wis nendang-nendang saudaranya, mukul, jambak, narik baju, melukai, mencakar, dan seterusnya, maka ya yang bertikai itu masukkan ke dalam ruang introspeksi. Jangan dimasukkan ke kamarnya. Ayo masukkan di kamarnya. Nanti malah ngunci diri di dalam kamar itu ya. Masukkan di ruangan ya mungkin itu adalah ruangan kita orang tuanya. Kamar kita. “Kamu masuk, kamu masuk ke dalam kamar ayah, kamar mama abi atau terserah gitu.”

 

Sepuluh menit kemudian kita kasih waktu enggak usah perlu kita ngomong juga enggak apa-apa. Dan 10 menit berikutnya kita temui, baru kemudian kita ajak ngobrol gitu ya. Jangan buru-buru menasehati ketika anak sedang emosi dan juga jangan buru-buru menasehati ketika kita lagi terpancing emosi. Karena enggak akan efektif. Enggak akan efektif. Oke. 

 

Kemudian yang kelima, hukuman fisik dengan tetap mengirimkan sinyal cinta dan kasih sayang.

Jadi memberikan hukuman fisik, tapi tetap kirim sinyal cinta dan kasih sayang pada anak sebelum menghukum dan setelahnya. Jadi, sebelum menghukum, sinyal cinta dan kasih sayang itu ditangkap oleh anak. Setelah menghukum pun juga ditangkap gitu. Menghukum tujuannya memang untuk memperbaiki. Kita boleh menghukum tapi enggak boleh dendam sebagai orang tua atau sebagai guru. Apalagi nandain terus pasti nanti akan makan gini lagi gitu. Kemudian kita ngecap itu terus ya. Pada akhirnya anak enggak akan baik-baik tuh di mata kita. 

 

Gimana contoh hukuman fisik? nanti sebenarnya ada fikihnya memukul anak gitu. Tapi kalau hukuman fisik seperti ini sebenarnya hukuman fisik boleh dengan cara menjewer. Tapi menjewernya jangan ditarik. Dipegang saja telinganya dielus-elus bagian belakang telinga. Jangan ditarik sampai merah, sampai sakit. Enggak boleh. Kenapa? Karena telinga organ vital dan enggak boleh melukai organ vital itu bahkan nanti usia 10 tahun begitu boleh mukul. 

 

Mukul ada fikihnya. Sehingga yang memukul anak menggunakan fikih Islam enggak akan mungkin mungkin kena pasal kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ya. Bahkan ketika mohon maaf ya, ketika harus menghukum contohnya memegang telinga anak. Gak boleh orang tua dalam keadaan emosi. Enggak boleh mukul atau menghukum anak dalam keadaan emosi. Itu kalau orang tua menghukum anak dalam keadaan emosi, maka orang tuanya berdosa itu, pahami anak melakukan kesalahan enggak berdosa. Wong masihbelum baligh ya itu ya. Oke, enggak apa-apa menghukum anak dengan berdiri, tapi jangan lama-lama di dalam kamar aja jangan enggak usah lebih dari 10 menit, maksimal 10 menit lah. Kalau di sekolah jangan satu mata pelajaran, 1 jam pelajaran jangan gitu. Apalagi kalau sampai anak itu punya ‘izzah kemudian sampai muncul rasa terhina dengan itu bahaya. Itu yang harus kita perhatikan. Sehingga hukuman kita jadi efektif.

 

Dan yang lebih penting dari menghukum, apa? Sinyal cinta dan kasih sayang itu dibaca oleh anak sebelum kita menghukum dan setelah menghukum. Kalau sudah dihukum ya sudah gitu ya. Enggak usah diulang-ulang sampai memunculkan kesan kita ngecap anak itu dengan akhlak buruk itu, dengan kesalahan itu nanti jadi labeling, bahaya lagi.

 

Hal kedua yang harus kita waspadai. Apa? 


Berlama-lama dengan smartphone.

 

Ustadz mengatakan berlama-lama itu sudah berarti berlebih-lebihan dan sudah negatif. Anak dengan smartphone itu boleh. Boleh ya. Tapi kalau berlama-lama itu jadi negatif. Kalau berlebihan itu jadi negatif. 

 

Jangankan megang smartphone, minum air putih kurang netral apa tuh? Mubah banget minum air putih itu. Tapi kalau kebanyakan, negatif. Makan buah tertentu kalau kebanyakan enggak baik. Padahal itu untuk nutrisi tubuh. Oke. 

 

Nah, smartphone mubah. Jadi, yuk pertama kita kembalikan dulu hukum anak dengan smartphone. Apa hukum anak dengan smartphone itu? mubah ya. Yang menjadi masalah adalah berlama-lama. Dan yang menjadi masalah berikutnya adalah kita tidak mengajari anak kita untuk smart memegang smartphone. Akhirnya smartphone lebih smart dibanding anak kita. Akhirnya anak dikendalikan oleh smartphone karena anak kita tidak smart. Oke. Bagi orang dewasa berlama-lama dengan smartphone itu membahayakan. Terlebih anak-anak.

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa hal itu merusak fisik, mental, sosial, keilmuan, akidah, dan moral anak. Salah satunya penelitian di sebuah sekolah swasta di Amerika menjelaskan bahwa anak yang berinteraksi dengan layar televisi menyaksikan 200.000 lebih tayangan kekerasan dan 4.000 tontonan kriminal pembunuhan, sampai anak usia 18 tahun. Jadi gini, anak yang berinteraksi dengan layar televisi dari kecil sampai usia 18 tahun itu dia menyaksikan selama kurun waktu 18 tahun itu tayangan 200.000 lebih tayangan kekerasan dan 4.000 tontonan kriminal pembunuhan. Hal itu yang menyebabkan mati rasa pada anak. enggak punya empati. Bahkan menyakiti orang lain, menzalimi orang lain itu sudah enggak ada penyesalan, enggak ada rasa takut gitu. Bahkan nanti kalau levelnya naik lagi jadi psikopat. Kepuasannya itu ketika menyakiti orang lain. Kepuasannya ketika bisa menjatuhkan orang lain, ketika bisa membully orang lain dan itu bahaya sehingga mereka mudah melakukan kekerasan. 

 

Kemudian berikutnya mengolok-ngolok orang dekat. Hati-hati ya kalau kalau suami istri Bapak dan Ibu lagi berantem kemudian Bapak ngobrol sama anak, jangan jelek-jelekin mamanya. Suami istri lagi berantem, si anak lagi ngobrol sama mama. Jangan menjelek-jelekkan ayah di depan anak ya. Bapak, Ibu lagi berantem dengan anak pertama. Kemudian ngobrol dengan anak kedua atau ketiga, jangan menjelek-jelekkan kakaknya di depan adiknya. Ya, ketika lagi enggak cocok sama anak kedua atau ketiga lalu ngobrol sama anak pertama, jangan menjelek-jelekkan anak kedua dan ketiga kepada anak pertama. Hindari. Kenapa? Karena di usia ini anak itu masih menangkap dan menjadikan sumber primer bakatnya, sumber primer pengetahuannya adalah dari kedua orang tua dan dari saudara-saudaranya. 

 

Kalau sumber primernya kita rusak, maka anak akan cenderung menarik diri, takut, dan berhenti berpikir tenang. Jadi kalau sumber primernya kita rusak, itu sama seperti kita kalau ada mata air, anak itu minumnya dari mata air, anak minumnya dari sini. Begitu sini kita rusak, maka di sini akan keruh. Dan yang sampai kepada anak itu adalah air keruh yang akan diminum. Jadi tolong kalau punya masalah dengan pasangan jangan menceritakan itu di depan anak ya. 

 

Tugas seorang ayah adalah membuat anak untuk kagum kepada ibunya. Tugas seorang ibu membuat anak kagum kepada ayahnya dan begitu seterusnya. 

 

Tiga : Menanam Nilai : Mengajarkan Dasar-Dasar Ilmu & Adab


Hal yang mesti ditanamkan mengajarkan dasar-dasar ilmu dan adab. 

Di sesi ini lanjut Q & A karena keterbatasan waktu.


HIKMAH/INSIGHT Nikmah (Pribadi)


Di sesi ke-4 atau tiga tahun ketiga anak, ini momentum pas banget dengan usia anak pertama saya. Dan cukup triggering, karena saat usia segini, anak kami pernah dibully dan dipukul tanpa keadilan sama sekali. Namun saya bersyukur setelah istikarah dan meminta pendapat suami, kami hijrah dari lingkungan yang 'mudah melabeli anak kami' ke lingkungan yang lebih tenang.

Karena terutama di kejadian 2021, 2022, 2023 dan gongnya 2024 ada beberapa catatan pribadi yang jika disimpulkan itu juga hampir saja merusak mental kami sekeluarga. Alhamdulillah, Allah masih berikan keselamatan jiwa dan mental serta spiritual kami. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush sholihat. Semoga ilmu yang Ustadz Herfi berikan ini menjadi ilmu nafi'. 

Satu hal yang saya syukuri adalah, anak kami tidak adiksi, Allah izinkan anak kami lebih dekat dengan alam dan gemar membaca. Di sisi lain, saat ada masalah pun, Alhamdulillah kami tidak berseteru di depan anak-anak. Kami yakin, parenting is all about parents. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang perlu dirilis dari berbagai trauma. Termasuk kesalahan saat menghukum anak di rumah yang lama, itupun motifnya ternyata bukan karena anak, melainkan karena malu kalau dicap sebagai ortu yang tidak becus (dan ucapan itu sudah orang itu lontarkan, qadarullah sangat menyakitkan). Setelah ditelusuri, as above so below. Orang itu tidak mengenal saya secara pribadi. Tidak pernah dig deep juga, bahkan tidak berinteraksi langsung. Lalu kenapa saya marah sekali pada anak saat itu? Ternyata karena ada shame based trauma. Saya paling antipati untuk dibully, karena saya lemah untuk menyerang balik siapapun yang membully. Rootsnya di masa SD. Maka, saat itu terulang di masa dewasa, seolah memanggil diri saya yang di masa kecil tidak berdaya, ada unworthiness issue disana. Maka, saya pun lebih banyak retreat, surrender, belajar dan terus belajar agar tidak salah dalam merespons setiap kejadian. Ustadz Herfi merupakan salah satu dosen, guru, penasihat yang saya ambil lautan ilmunya sepanjang mengikuti kelas beliau di Akademi Al-Fatih maupun kajian-kajian lepasan lainnya.

Kini, saatnya kembali merajut sinyal cinta dan minta maaf pada anak. Anak-anak kami belum baligh, namun, pelabelan, penghakiman di saat usia anak  6 tahun lebih, kemudian 7, 8, 9 (start 2021) sungguh banyak mengubah kepribadiannya. Bullying itu mengerikan, nyata, menyakiti jiwa sekeluarga. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua. Laa hauwla walaa quwwata illa billah.


Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun