Dari Luka ke Lapang: Perjalanan Mengikhlaskan Perundungan


Ada masa dalam hidupku yang sulit untuk diceritakan. Saat itu, aku merasakan sakit yang mendalam karena dikhianati oleh beberapa teman yang pernah aku anggap keluarga bahkan saudara. Mereka melakukan perundungan, baik terang-terangan saat kejadian maupun diam-diam sebelum kejadian, dan meninggalkan luka yang tak mudah hilang. Tapi aku mencoba memahami, penghakiman dan cara bersikap seperti itu, bisa jadi pola yang memang terbentuk dari masa kecilnya yang aku tak ketahui. Karena aku tahunya mereka orang baik, berpendidikan, beragama, paham bersikap dan pastinya tidak mudah reaktif. Sayangnya yang poin terakhir, meleset.

Awalnya, aku menyimpan amarah. Aku mencoba melupakan, tetapi kenangan-kenangan itu seperti bayangan yang terus mengikuti. Aku bertanya-tanya, “Kenapa aku? Apa sih hikmahnya? Selama ini apakah aku salah dan berbuat jahat? Kriminal? Kok bisa aku sepercaya itu ke mereka?” 

Hingga suatu saat, terutama ketika aku datang ke terapis, konsultasi ke psikolog, aku menyadari, menyimpan amarah hanya membuatku semakin terluka. Aku memilih untuk melepaskan itu semua. Hijrah. Hijrah jiwa raga.

Proses menerima dan mengikhlaskan bukanlah perjalanan yang cepat. Ada air mata, malam-malam gelisah, dan rasa hampa. Namun sedikit demi sedikit, aku belajar memandang peristiwa itu sebagai bagian dari perjalanan hidupku—pelajaran yang membentukku menjadi lebih kuat dan bijak.

Satu hal yang aku syukuri adalah, aku tak membalas apapun bahkan tak menjelaskan apapun kepada pelaku dan para perundungan setelah itu. Aku memilih diam. Memilih pergi. Memilih untuk bergantung hanya pada Allāh. Hanya Allah yang bisa memberi ketenangan, bukan manusia. Bukan mereka.

Kini, aku tidak lagi memandang masa lalu dengan marah. Aku justru merasa lapang. Dari sana aku belajar tentang siapa teman sejati, tentang menghargai diriku sendiri, dan tentang kekuatan memaafkan.

“Forgiveness is not an occasional act, it is a constant attitude.”, kata Martin Luther King Jr.

Bagiku, kebaikan dan kejahatan nggak akan kemana-mana. As above so below. Termasuk ucapan, pandangan mata dan perlakuan.

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)

Aku berbagi cerita ini bukan untuk membuka luka lama, tetapi untuk mengingatkan siapa pun yang mungkin sedang berada di posisi yang pernah kualami: luka bisa sembuh, dan hatimu bisa kembali tenang. Tidak mudah, tetapi perlahan-lahan, memaafkan dan mengikhlaskan akan membebaskanmu.

Insyaa Allah. Biidznillah.

Hadza min Fadhli Robbiii...

Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun