Bagaimana Rasulullah Menyikapi Perselingkuhan

Ketika dunia menyajikan berbagai jenis ujian. Bahkan persoalan pengkhianatan, perselingkuhan hingga penghinaan pada sebuah kehormatan kehidupan (rumH tangga). Lantas, bagaimana sebenarnya kita perlu menyikapinya?

Menyaksikan fenomena itu berada di sekitar kita, maka،, harus ada ilmunya. Gak boleh kita menghukumi dan menghakimi sesuatu berdasarkan emosi belaka. Hmmm, apa aku perlu bertanya seputar hal ini pada guru ya? Pentingnya soal memiliki guru, pernah aku tulis di Instagram aku.

Mungkin seputar pertanyaan sebagai seorang muslim, apakah ada kasus serupa yang terjadi di zaman Rasulullah? Walau aku sempat belajar di akademi siroh, sekilas ada juga kasus fitnah pada Bunda Aisyah, tapi aku juga ingin tahu, sebenarnya bagaimana sikap kita yang Allāh kehendaki sih saat menyaksikan kejadian seperti itu?

Berikut ini jawabannya.

Apakah di zaman Rasulullah ﷺ ada kasus perselingkuhan?

Jawabannya: Ya, ada kasus yang berkaitan dengan perselingkuhan, tetapi dalam konteks tertentu yang perlu dijelaskan.

Islam sangat tegas dalam menjaga kehormatan, keluarga, dan kesucian hubungan suami-istri. Perselingkuhan dalam Islam tergolong dalam perbuatan zina, dan hukumannya sangat berat jika terbukti secara syar’i.

Berikut ini beberapa kasus yang berkaitan:


1. Kasus Ifk (Fitnah terhadap 'Aisyah radhiyallahu 'anha)

Ini bukan kasus perselingkuhan yang benar-benar terjadi, tapi fitnah yang sangat besar. Dalam kisah ini, ‘Aisyah — istri Nabi ﷺ — difitnah berselingkuh dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu‘atthal saat dalam perjalanan perang.

Setelah melalui masa yang sangat berat, Allah menurunkan wahyu (QS. An-Nur: 11–20) yang membebaskan ‘Aisyah dari tuduhan dan menegaskan bahwa itu adalah kebohongan besar. Kasus ini menunjukkan bahwa menuduh orang berzina tanpa bukti sangat dilarang dan berat dosanya dalam Islam.


2. Kasus Ma’iz bin Malik dan wanita Ghamidiyah

Ini adalah kasus zina, di mana Ma’iz dan wanita dari suku Ghamidiyah mengakui sendiri perbuatan zina mereka di hadapan Rasulullah ﷺ. Mereka bukan orang yang bersuami/beristri, melainkan belum menikah (Ma’iz statusnya agak diperdebatkan, tapi mayoritas ulama menyebut dia sudah menikah).

Mereka datang secara sukarela untuk meminta dihukum, dan Rasulullah ﷺ berulang kali menolak dan menanyakan kembali, hingga yakin bahwa itu benar-benar pengakuan sadar dan sukarela.

Kesimpulan: Zina memang pernah terjadi, tapi penanganannya sangat ketat dan butuh 4 saksi yang melihat secara langsung, atau pengakuan pelaku. Kalau tidak ada bukti, menuduh saja bisa dihukum dengan had qadzaf (80 cambukan).


3. Aturan terhadap tuduhan zina dalam rumah tangga (li’an)

Dalam QS An-Nur: 6–9, dijelaskan aturan bagi suami-istri yang saling menuduh zina (misalnya suami menuduh istri berselingkuh tapi tak punya 4 saksi). Maka diberlakukan proses li'an, yaitu sumpah saling melaknat di hadapan hakim/sidang. Ini bentuk hukum syar’i jika ada tuduhan dalam rumah tangga terkait zina.


So? Gimana?

Jadi, ya, di masa Nabi ﷺ ada kasus zina, tuduhan perselingkuhan, dan fitnah. Namun, semua kasus itu ditangani dengan kehati-hatian luar biasa, prinsip keadilan, dan perlindungan terhadap kehormatan pribadi.

Perselingkuhan sendiri, jika dilakukan oleh orang yang telah menikah, tergolong zina muhsan (zina oleh orang yang sudah menikah), yang hukumnya dalam syariat Islam sangat berat (rajam), jika dan hanya jika terbukti dengan 4 saksi atau pengakuan pelaku.

---

Bagaimana Penanganannya?


1. 🕌 Penanganan Perselingkuhan di Zaman Nabi ﷺ

a. Masyarakat yang menjaga kehormatan

Masyarakat Madinah setelah turunnya syariat Islam sangat menjaga kehormatan keluarga dan individu. Bahkan, membicarakan isu perselingkuhan tanpa bukti dianggap dosa besar. Sehingga, suasana sosial waktu itu bukanlah yang permisif atau bebas.

> Contohnya pada kasus ifk ('Aisyah difitnah), beberapa sahabat yang ikut menyebarkan kabar bohong pun dihukum cambuk (had qadzaf), karena menyebar tuduhan tanpa bukti.


b. Hukum ditegakkan dengan kasih sayang dan kehati-hatian

Rasulullah ﷺ tidak mudah menjatuhkan hukuman zina atau semacamnya. Bahkan ketika seseorang mengaku bersalah, Nabi ﷺ berulang kali menolak dan memintanya berpikir ulang, agar tidak main-main dengan pengakuan yang bisa menyebabkan hukuman mati (rajam) atau cambukan.

Artinya, niat Nabi bukan menghukum, tapi menyelamatkan, memberi ruang taubat sebelum ke pengadilan syar’i.


2. 💔 Pelajaran dan Refleksi untuk Hari Ini

a. Perselingkuhan sebagai bentuk pelanggaran amanah hati

Dalam Islam dan psikologi, perselingkuhan bukan hanya soal fisik atau seksual. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap ikatan kepercayaan dan kesetiaan emosional. Dalam pernikahan, ini bukan hanya melanggar komitmen, tapi juga bisa menghancurkan pondasi emosi, spiritual, dan bahkan harga diri pasangan.

b. Perselingkuhan bukan hal baru, tapi tetap tidak normal

Fakta bahwa ada kasus di masa Nabi ﷺ bukan berarti Islam membenarkan, melainkan menunjukkan bahwa:

Manusia bisa jatuh dalam dosa (termasuk sahabat Nabi)

Islam memberi jalan kembali (taubat)

Islam mewajibkan proses hukum yang adil, bukan sekadar emosi atau amarah.

c. Dampak psikologis pada korban dan pelaku

Korban perselingkuhan sering mengalami trauma, kehilangan rasa aman, harga diri menurun, bahkan gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Pelaku perselingkuhan kadang membawa luka lama, masalah inner child, atau pengabaian spiritual dan emosional, yang tidak disadari.

d. Spiritual healing: Taubat, Sabar, dan Membangun Kembali

Islam sangat memberi tempat untuk:

Taubat nasuha bagi pelaku

Penyembuhan dan penegakan hak bagi korban

Konseling rumah tangga dan introspeksi diri agar tidak berulang.


🌿 Penutup

Zina dan perselingkuhan adalah fitnah besar dalam masyarakat—bukan hanya secara hukum, tapi juga dalam luka batin yang ditinggalkan.

Nabi ﷺ mengajarkan kita bahwa:

> ⚖️ “Hukum itu ada, tapi kasih sayang dan kehati-hatian tetap harus diutamakan.”

Dan untuk kita hari ini, jika sedang menghadapi luka karena pengkhianatan, bukan hanya keadilan yang dibutuhkan, tapi juga ruang aman untuk memulihkan diri.


--

Buat siapapun, pasangan adalah pakaian. Sebagaimana pakaian, sebaiknya jangan diumbar. Datangi pengadilan, minta fatwa pada para ahli. Bukan malah diumbar di media sosial. Itu pendapatku pribadi. Kenapa? Karena kita tidak bisa menghakimi sesuatu secara sepihak. Belajarlah untuk melihat segala sesuatu dari segala sisi, yang utuh. Tidak sepotong apalagi cuma modal 'mulut katanya' dan potongan sebaran yang dibumbui jiwa yang penuh hawa (keburukan, keruh). Laa hauwlawalaa quwwata Illa billaah.



Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun