Mendidik Anak Usia 4-6 Tahun

 




Anak Usia 4-6 Tahun

 

DIrangkum Oleh Khoirun Nikmah

Disampaikan Live Oleh Ustadz Herfi Ghulam Faizi, Lc.

 

Pada kesempatan siang hari ini kita diberikan taufik oleh Allah untuk belajar bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang baik dan itu merupakan bentuk bakti kita kepada anak kita. Dan bakti kita kepada anak kita ini yang akan menjadi asbab baktinya anak kepada kita di kemudian hari. Karena sering sekali kasus-kasus yang terjadi, tidak baktinya anak kepada orang tua begitu ditelusuri, ternyata ada penyebabnya. Dan penyebabnya adalah orang tuanya sendiri. Dimana orang tuanya tidak melakukan bakti kepada anaknya dengan mendidiknya, mengajarkannya Al-Qur'an, mengajarinya iman, mengajarinya adab, etika, dan seterusnya. 

 

Maka hari ini kalau kita bahas tema tentang bakti anak kepada orang tua itu sudah biasa, yang luar biasa itu kalau kita bahas bakti orang tua kepada anak. Dan esensi dari webinar kajian kita di setiap hari Selasa yang ini adalah sudah pertemuan ketiga, itu adalah sebagai manifestasi bakti kita kepada anak-anak kita. Dengan kita belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Bahkan ketika apa yang sudah kita pelajari ini sebenarnya sudah lewat dari usia tahapan anak kita. Contohnya anak sudah usia 10 tahun atau 15 tahun kemudian kita menyimak kajian pendidikan anak usia 4 sampai 6 tahun. Lalu muncul kesadaran dalam diri kita adanya ketidakpasan kita dulu dalam membersamai anak di usia itu. Setidaknya kesadaran itulah yang kemudian menggerakkan kita hari ini untuk banyak memohon ampun kepada Allah atas kekurangan-kekurangan kita didalam membersamai anak-anak kita. 

 

Dan kalau kita sudah punya kesadaran, kita minta ampun kepada Allah Subhanahu wa taala. Maka insyaallah istigfar-istigfar kita, permohonan ampun-permohonan ampun kita kepada Allah itu yang akan menghapuskan luka-luka pengasuhan, yang hari ini sering dibahas-bahas itu. Jadi kaidahnya innal hasanati yudhibnatsyaiiat, Kebaikan-kebaikan itu bisa menghapuskan keburukan-keburukan. Maka kita perbaiki hari ini di anak kita yang sudah lewat usia 4 sampai 6 tahun, kita berbuat baik kepada anak kita di usianya hari ini yang sudah 10 atau 15 atau bahkan sudah 20. 

 

Maka Nabi mengatakan atau Allah Subhanahu wa taala mengatakan, "Innal hasanat yudibisyaiyi’at." Kebaikan itu akan menghapus kesan-kesan keburukan, kesan-kesan kesalahan. Begitu. Baik, eman-teman saudara sekalian yang dimuliakan Allah, hari ini kita langsung masuk di pendidikan anak usia 4 sampai 6 tahun. Kita akan mulai dari mukadimah kita. Yang ini saya masih gunakan mukadimah di pertemuan sebelumnya sebagai kata kunci untuk ku anfusakum wa ahlikum naro. 

 

Yang pertama adalah pernyataan az-Zamaksyari. 

 

 

Pekan kemarin hari Selasa sudah kita bahas ya, kalimat az-Zamakhsyari yang ini merupakan bentuk perwujudan manifestasi dari ku anfusakum waahlikum naro, itu ketika kita sering-sering mengingatkan keluarga kita untuk menjaga salatnya, menjaga puasanya, menjaga zakatnya, menjaga hubungan-hubungan sosial yang baik dengan orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya, anak-anak yatim dan seterusnya serta ibadah-ibadah yang lain. Dan itulah yang insyaallah akan menjadi simpul yang mengumpulkan kita bersama dengan keluarga kita kelak di surga. 

 

Kemudian yang kedua, ini juga perlu senantiasa kita ingat-ingat. Ini sengaja saya ulang dan nanti sampai beberapa pertemuan yang ke depan juga akan terus saya ulang-ulang, slide nomor pertama ini, yaitu bahwa didik anak itu tujuannya adalah supaya kualitas taqarrub, kedekatan diri kita kepada Allah itu semakin bertambah. Jadi kita didik anak tuh tujuannya adalah karena kita pengin mendekatkan diri kita kepada Allah lewat pendidikan kita terhadap anak-anak kita.

 

Dua hal ini mohon senantiasa diingat karena agak tidak lazim sih, biasanya ya kita itu kalau namanya didik anak ya tujuannya ya supaya anak itu baik, sesuai dengan harapan orang tua dan seterusnya dan seterusnya. Ya, tidak salah sih dengan itu, tapi yang lebih mendasar daripada itu semuanya dan ini akan menjadikan kita semakin lebih lapang mental kita dalam membersamai pendidikan anak-anak kita. Karena anak-anak ya kadang melakukan apa yang menyenangkan kita, kadang melakukan apa yang tidak menyenangkan kita, orang tuanya. 

 

Nah, kalau kita tidak memiliki mindset yang melapangkan mental kita dalam mendidik anak, yaitu ‘ya aku didik anak ini tujuannya pengin taqarrub kepada Allah’, berkali-kali menasehati anak ya tujuannya ya dengan itu aku pengin mendapatkan pahala dari Allah. Sehingga begitu nasihat terkadang didengar, nasihat terkadang diabaikan itu maka kita memiliki mental yang tenang. Sehingga kita ya menjadi orang tua yang tenanglah, yang bahagia dalam membersamai anak kita kayak apapun tingkah dan polahnya anak-anak kita. 

 

Poin pertama usia 4 sampai 6 tahun, akan bahas tentang kebutuhan anak di usia itu. 

 
SATU : KEBUTUHAN ANAK USIA 4-6 TAHUN ADALAH BERMAIN DAN NGOBROL

 

Di sini saya menyebutkan dua hal, yang pertama, kebutuhan anak di usia itu adalah bermain dan yang kedua adalah ngobrol. 

 

Saya sebenarnya pengin menyampaikan berdialog, cuma saya khawatir nanti terlalu formal, dan apalagi ya kita hari ini kadang ketika dikasih nasihat ‘dialog dong sama anak’, itu jawabannya ‘aku sudah dialog kok sama anak’. Tapi pada kenyataannya kita itu sedang monolog tidak dialog.

 

Kenapa kok begitu? ya karena bahasa kita itu tidak mencerminkan orang yang berdialog dengan anak apalagi kalau anak tidak sesuai, membangkang, membantah, mengkritisi nilai-nilai yang sudah jadi pakem, kenapa kok ini begini nanya berulang-ulang dan seterusnya itu kadang kita enggak punya kesabaran untuk berdialog. Maka gambarnya kayak ngobrol sama anak tapi sebenarnya kita itu sedang monolog. Karena kita ‘pokoknya kamu harus gini ya gitu ya, jangan nanya-nanya lagi ya’. Jadi gambarnya aja tuh kayak dialog, tapi esensinya adalah monolog. 

 

Nah, kita akan bahas dua hal ini ya untuk kebutuhan anak di usia 4, 5, dan 6. Dua-duanya sangat penting sekali. 


Pertama : Bermain

 

Kita akan bahas poin nomor satu. Dr. Muhammad Khair Asya'al mengatakan, "Bermain bagi anak seperti bekerja bagi orang dewasa.”

 

Sehingga ketika anak dilarang untuk bermain kayak orang dewasa di-PHK. Orang dewasa ketika di PHK dari kantornya dari tempat dia bekerja ya dia sedih, nyesek ya. Dan kurang lebih begitulah suasana kejiwaan anak ketika pengin main, kemudian dilarang-larang oleh orang tuanya untuk main. Sehingga kebutuhan-kebutuhan itu nanti ketika tidak dipenuhi, maka ya akan menumpuk, membentuk mentalitas tertentu. Sehingga nanti pemenuhannya di kemudian hari. Sehingga terkadang kita dapati ada orang nakalnya terlambat. Mestinya usia 4,5, 6 tuh kelihatan nakal lah. Ini usia 40 tahun baru nakal, karena nggak dipenuhi dulu ruang bermain yang cukup gitu ya. Ruang untuk memenuhi ego yang cukup.

 

Nah, bermain ini sebenarnya kebutuhannya adalah kebutuhan nafsu. Jadi dorongannya adalah dorongan ego. Jadi, kalau dalam psikologi namanya ego, dalam tasawuf namanya nafsu. Lah, namanya nafsu itu kalau pengin ya harus dipenuhi, tapi enggak boleh berlebihan. Kaidahnya begitu ya. 

 

Bermain ini masuknya masuk kategori memenuhi kebutuhan nafsu, kebutuhan ego. Lah ego itu kalau dipenuhi secara proporsional jadinya adalah energi kebaikan. Jadi, ego tu begitu. Kayak orang punya nafsu lagi lapar, pengin makan, harus dipenuhi tapi enggak boleh berlebihan. Kalau enggak dipenuhi karena sudah lapar, ada makanan, kemudian dia enggak makan, wong juga enggak puasa, maka jadinya karakternya berubah oring-uringan, sensitif, gampang tersinggung. Nah, itu tandanya lapar. Tapi begitu berlebihan dalam memenuhinya, yang terjadi apa? Yang terjadi adalah nafsu yang lainnya yang bertambah.

 

Nafsu yang lainnya yang kemudian jadi berlebihan. Nah, ini begitu dipenuhi secara proporsional maka jadinya adalah energi positif dalam diri kita. Nah, bermain itu wilayahnya wilayah ego. Maka dia sifatnya mubah. Mubah itu labil. Labil itu, dia bisa berubah menjadi dianjurkan. Awalnya kan boleh-boleh saja bermain itu, tapi dia bisa berubah menjadi dianjurkan untuk bermain. Bahkan wajib untuk bermain kalau memang tujuannya adalah sesuatu yang urgen bahwa ini bisa disampaikan dengan cara bermain. Apa? tentang nilai satu kewajiban gitu contohnya ya berarti wajib bermain. 

 

Bermain itu kalau kemudian menjadikan anak jadi tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka bisa menjadi makruh yang awalnya boleh, bahkan bisa menjadi haram. Jadi di awal saya pengin teman-teman semuanya memandang bermain ini sebagai sesuatu yang netral. Kalau dalam timbangan hukum tuh mubah, enggak diperintahkan, enggak dilarang. Tapi dia bisa wajib kalau dia menjadi tangga untuk mendapatkan nilai-nilai kewajiban. 

 

Contohnya apa? Contohnya tolong-menolong bersama dengan orang lain dalam mencapai tujuan yang sama. Nanti caranya gimana ya? Salah satu caranya bisa dengan bermain bola atau bermain apa yang sifatnya adalah teamwork ya. Dia adalah kerja tim begitu itu untuk melatih apa? Untuk melatih mental apa? Untuk melatih agar anak tidak egois. 

 

Dalam mencapai tujuan dibutuhkan kebersamaan, bekerja sama, bantu-membantu, tolong-menolong. Nah memiliki mentalitas kerja sama, suka menolong, suka membantu, itu ya sesuatu yang harus. Maka bermain yang melatih anak untuk itu adalah sebuah keharusan. Begitu. 

 

Jadi, bermain bagi anak kayak bekerja bagi orang dewasa. Udah pokoknya bayangin aja kalau ada ibu-ibu seneng masak kemudian dilarang masak padahal pengin masak. Ya kayak begitulah anak-anak 4, 5, 6 ketika pengin main, ibu-ibu larang enggak boleh main. 

 

Kemudian yang kedua tentang fungsi bermain. Ini bermain dari yang asalnya adalah mubah dalam timbangan hukum. Dia nanti ketika menjadi tangga untuk apa? Untuk pendidikan-pendidikan mental yang positif dia menjadi dianjurkan, bahkan menjadi diharuskan. 

 

Kata Ahmad Kholil Jum’ah dalam bukunya, "Bermain itu menyiapkan anak untuk kehidupannya nanti”. Jadi, jangan ngelarang anak dengan mengatakan, "Kamu main aja. gitu ya. Hidupmu itu enggak hanya saat ini aja, kamu juga harus nyiapin untuk kehidupan kamu nanti”. 


Bermain itu menyiapkan anak untuk kehidupannya nanti itu membantunya dalam pertumbuhan fisiknya. Jadi kalau kemarin kita membuat analogi seperti orang membangun bangunan. Oke. Maka kurang lebih bermain itu adalah aktivitas membangun yang banyak melakukan gerakan ya. Entah itu seperti mengaduk semen dengan pasir gitu ya, dengan air itu kan harus bergerak tuh untuk apa? Untuk kekuatan bangunan di kemudian hari. Karena kalau semen, air, sama pasir enggak nyampur, karena enggak digerakkan dengan maksimal, ya enggak akan bagus nanti, enggak akan kuat nempelnya. 

 

Jadi main itu dalam analogi bangunan kayak ngaduk semen apalagi pakai molen ya. Yang manual saja kan membutuhkan apa? membutuhkan lengan-lengan yang kuat tuh untuk ngaduk. Maka dia mau pakai molen yang manual atau pakai molen yang diangkut pakai truk itu adimix dan seterusnya itu. Tapi itu kan harus muter terus enggak boleh berhenti supaya apa? Supaya nyampur. Kurang lebih main tuh analoginya begitu gitu ya. Dalam pertumbuhan fisik.

 

Di fisik itu ada tulang, ada ada saraf, kemudian ada otot, ada daging dan seterusnyalah sebagaimana dalam anatomi tubuh yang dipelajari itu. Oke. 

 

Kemudian memenuhi asupan naluri dan kecenderungannya yang tidak mungkin dipenuhi dengan kehidupan yang serius. Ala-ala orang dewasa. Kalau yang sudah enggak butuh main-main itu yo kita yang sudah dewasa begini ini bawaannya serius aja. Apalagi kita pengin anak kita baik gitu. Kemudian kita didik dengan pola-pola pendidikan orang dewasa. Artinya yo dengan keseriusan itu gitu ya. Jadinya nanti anak yang tumbuh tidak bahagia. 

 

Padahal kalau kita melihat kita yang orang dewasa ini mestinya belajar hidup dari anak-anak. Anak-anak tuh hidupnya santai, enggak punya duit tinggal minta kepada orang tuanya. Lah mestinya kita orang tua tuh begitu. Hidup tuh ya mestinya santai, enggak ada materi. Ya sudah kita minta tolong, minta bantuan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Enggak dikasih yo nangis gitu. 

 

Jadi, jadi ada nilai-nilai, ada asupan-asupan yang dia hanya bisa ditransfer pada anak dengan cara kehidupan yang dengan cara bermain, tidak dengan kehidupan yang serius, dengan kehidupan yang spaneng. Maka kita harus mengingat kembalilah masa anak-anak itu seperti apa. Ya, logikanya pun juga harus pakai logika anak-anak gitu ya. Anak yo harus ngikut orang tuanya loh. Anak kan belum bisa ya. Kita yang sudah bisa gitu ya. Untuk apa? Untuk menurunkan frekuensi kita sesuai dengan frekuensinya anak. Jadi kita nanti paham. 

 

Kemudian bermain juga menghindarkan anak dari kejenuhan dan kebosanan serta perasaan-perasaan yang menyakitkan. Lihat menyakitkan di sini ya menyakiti perasaan loh ya. Ini masalah-masalah beban-beban mental yang terjadi pada anak. Kejenuhan dan kebosanan. Lha itu ya karena anak kurang main ya. Karena anak karena anak kurang main.

 

Maka bermain juga membiasakan anak untuk disiplin dengan aturan. Oke, lihat bermain itu membiasakan anak untuk disiplin dengan aturan. Karena setiap permainan kan ada aturan mainnya. Kalau kita memberikan mainan pedang-pedangan kepada anak loh, ada aturan mainnya itu. Kita membelikan pistol kepada pistol mainan kepada anak, ada aturan cara makainya. Mobil juga sama, ada aturannya gitu ya. 

 

Makanya kalau anak menggunakan pedang contohnya untuk memukul barang-barang yang ada di rumah, ya berarti ada apa? Ada nilai kedisiplinan akan aturan menggunakan pedang itu yang mesti disampaikan dengan tenang kepada anak. 

 

Kemudian menghormati orang lain karena nanti ada permainan-permainan yang anak melibatkan temannya, melibatkan saudaranya, melibatkan orang lain dalam melakukan permainan itu. Maka bermain di situ punya kepentingan urgensi untuk melatih anak agar dia menghormati orang lain kemudian mendahulukan kepentingan bersama. 

 

Nah, ada nanti permainan-permainan dimana anak dilatih untuk menanggalkan ego, latihan mengendalikan egonya, memprioritaskan kepentingan bersama. Oke, nanti tinggal dilihat saja mainan-mainannya apa saja tuh. Mestinya kayak begini-begini ini menginspirasi ayah bunda yang kreatif untuk membuatkan mainan untuk anak-anaknya kalau memang belum ada. Kemudian dikonsep kemudian bisa dibagikan kepada ibu-ibu yang lainnya, kan keren tuh. Oke. 

 

Kemudian apa? Berkorban untuk kelompoknya. Ada permainan-permainan dimana anak dilatih untuk berkorban untuk kelompoknya. Berarti ini permainan yang sifatnya dia berkelompok ya. Ada voli, ada main bola. Oke, gitu ya. Kalau badminton ya dia ganda, atau permainan-permainan yang lain.

 

Atau dia dilatih untuk berkompetisi yang sehat. Kompetisi itu fitrahnya manusia. Nanti kalau fitrah kompetisi itu dihilangkan, ya sudah anak itu enggak punya greget dalam hidupnya. Yang lain sudah pada maju, yang lain sudah di sudah pada mampu belajar ini, belajar itu, memahami ini, memahami itu. Dia biasa saja. Karena apa? Karena fitrah bermainnya cidera, fitrah berkompetisinya cidera, yaitu ya yang mencedera, ya sebenarnya pola pendidikan kita ya. 

 

Bermain juga melatih anak, membiasakan anak untuk mengakui kekalahan. Ini juga penting. ‘Oh, aku kalah’. Mengakui kekalahan itu penting loh ya. Karena pada kenyataannya itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mentalnya kuat. Orang-orang yang mentalnya lemah, anak-anak yang mentalnya lemah mengakui kalah aja enggak mau. Akhirnya menyebabkan dia kepikiran, depresi, stres, dan seterusnya. Padahal simpel dan itu bisa dilakukan dengan treatment permainan-permainan tertentu, serta berempati terhadap yang kalah gitu ya. Tidak euforia dalam kemenangan kemudian sampai pada level merendahkan yang kalah. Kalau sudah merendahkan yang kalah berarti ada penyakit jiwa dalam anak-anak kita. Apa? Sombong. Dan itu berbahaya. 

 

Lihat bermain itu memiliki sekian banyak apa pengaruh terhadap moral, terhadap akhlak, terhadap mental. Bahkan terhadap pertumbuhan fisik dan pertumbuhan naluriah anak. Oke, jadi itu yang disampaikan oleh Ahmad Kholil Jumah. 

 

Dr. Muhammad Khair Asyaal masih tentang bermain. Beliau mengatakan, “tabiat anak itu aktif dan banyak bergerak”. 

 

Tabiat itu berarti hal-hal yang sifatnya nempel, enggak bisa dilepaskan dari anak, yaitu aktif dan banyak gerak. Keaktifannya adalah bukti kesehatan fisiknya, kecerdasan akalnya, dan kejernihan otaknya. Jadi tabiatnya anak itu aktif dan banyak gerak. Makanya kalau anak usia 4, 5, 6 tidak aktif dan tidak banyak gerak, kemungkinannya satu dari dua hal. 

 

Yang pertama, sakit fisiknya, atau yang kedua sakit psikisnya atau mentalnya atau kejiwaannya ya. Anak usia 4, 5, 6 itu kelihatannya anteng, tenang. Nah, orang tua-orang tua yang terkadang tidak memahami atau belum memahami itu nganggap kalau anak usia 4, 5, 6 itu tenang itu adalah anak yang pintar. Adapun anak yang banyak gerak, anak yang lincah, disuruh diam malah lari, disamperin kemudian pura-pura diam, habis itu lari lagi. Nah, itu bagi yang tidak paham dianggap anak nakal. Padahal sejatinya inilah yang otentik di anak usia 4, 5, 6 yang banyak geraknya itu yang otentik.

 

Adapun yang pendiam, adapun yang tidak banyak gerak, maka tadi itu ya perlu kita cek antara masalah fisiknya atau masalah mentalnya. Makanya ya dulu ulama-ulama kita itu punya kebiasaan, untuk apa? Untuk nyuruh anak-anaknya itu keluar dari rumah. Pokoknya wis banyak gerak sana, keluar sana, kamu lari-larian ke sana. 

 

Kayak Umar bin Khattab itu nyuruh anak-anaknya kalau pagi hari keluar rumah semuanya. Itu kenapa? Karena tadi, nanti kalau analisanya Umar bin Khattab adalah untuk meminimalisir munculnya hasad atau iri-irian di antara anak. Sering ngumpul bagus gitu, tapi juga harus dijeda, disela dengan momen-momen untuk tidak ngumpul. Supaya meminimalisir potensi hasad-hasan, iri-irian yang terjadi pada anak. Kalau memang ada iri-irian? Ya ada. Dan itu terjadi di keluarganya Nabi Ya’kub malahan dalam Quran 10 anaknya Yakub iri sama Nabi Yusuf Alaih Salam. Terjadi kok gitu ya. 

 

Dan ternyata banyaknya gerak keaktifan anak itu bukti kesehatan fisik. Berarti kalau lagi enggak aktif dicek dulu mungkin ada yang sakit dari fisiknya, mungkin demam, mungkin nafasnya berat atau masalah-masalah fisik yang lainlah. 

 

Kemudian kecerdasan akalnya. Jadi banyak gerak itu tanda akalnya tuh cerdas. Makanya Imam Tirmidzi itu meriwayatkan hadis maukuf dari Anas bin Malik yang berkata bahwa, “gerak anak yang berlebih ketika kecil itu adalah bukti kecerdasannya ketika dewasa nanti”. 

 

Jadi, gerak anak yang berlebih itu bukti kecerdasannya ketika dewasa. Membantu kecerdasannya ketika dewasa nanti. Jelas cerdas yang dimaksud bukan cerdas akademik. Kalau cerdas akademik yo tinggal orang tuh telaten-plelatenan saja kok. Kuat-kuatan murajaah mata pelajaran, mata kuliah itu aja kok. Kalau cerdas akademik itu mana yang paling kuat? me-review pelajaran-pelajaran, kemudian me-review mata kuliah-mata kuliah, yaitu yang pintar secara akademik. 

 

Kecerdasan di sini kecerdasan yang universal, kecerdasan mentalnya, ya kecerdasan emosinya gitu. Makanya dia kreatif, nyari-nyari cara gitu ketika kepentok dengan satu masalah itu akan kreatif. Kenapa? Ya karena fisiknya sudah biasa diajak untuk ke sana kemari. Apalagi kalau lari kemudian ada sesuatu di hadapannya yang datang tiba-tiba, dia dalam waktu sepersekian detik harus ngambil keputusan loh. Itu latihan juga itu menghindari ini, menghindari itu, ketangkasan. Jadi gerak-gerak begitu itu jangan dikira gak berguna, itu sangat berhubungan dengan kecerdasan akalnya. Karena dalam waktu hitungan detik dia harus ngambil keputusan ini, harus ngambil keputusan itu, dan kejernihan otaknya. Karena kalau lagi tidak jernih yo pasti bawaannya mager. Wis pengin duduk saja malas dan seterusnya. 

 

Ibnu Sina menyampaikan tentang manajemen pagi anak. 

Ibnu Sina mengatakan setelah bangun tidur pagi hari seyogyanya anak bersenang-senang sebentar kemudian bermain lalu diberi makanan ringan. Setelah itu biarkan kembali bermain lebih lama, kemudian bersenang-senang sejenak lalu diberi sarapan. Jadi ini hal yang biasa dilakukan untuk mentreatmen anak-anak didik atau anak-anak kecil pada zaman itu. Sehingga diamat-amati oleh Ibnu Sina anak-anak yang pintar itu aktivitas paginya kayak apa, dan ternyata kurang lebih ada kesamaan, kemiripan antara anak-anak yang cerdas satu dengan yang lainnya tentang aktivitas-aktivitas paginya. Apalagi beliau juga dokter, ya ahli filsafat kan gitu ya. Kalau masalah akidah ya nanti pembahasannya di ruang yang lain saja, kan gitu ya. Tapi apa yang beliau sampaikan dalam tema ini ya benar. Ibnu Sina itu mengatakan gitu ya. 

 

Jadi setelah bangun tidur di pagi hari itu rileksasi dulu sebentar saja dibuat tenang, happy, disambut gitu, dipuji. Kemudian apa? Kemudian dibiarkan bermain. Setelah bermain dikasih makanan ringan, kudapan. Habis itu dibiarkan bermain lagi. Habis itu apa? diminta untuk rileksasi dulu, diajak ngobrol, dihibur, baru kemudian dikasih sarapan. Pasti makannya yo lahap-able gitu ya. Nah, kita anak belum terkuras energinya, sudah buru-buru kita kasih makan ya, ogah-ogahan. Kalau ini sudah pasti lapar, anak kayak begini ini. 

 

Kemudian berikutnya ada beberapa memo. Memo itu ya catatan singkatlah terkait dalam masalah permainan anak ya. 

 

Yang pertama, jangan membatasi gerak anak, tapi buatlah arahan yang sesuai dengan permainannya agar teratur. Ini mainnya apa nih? Kan gitu ya. Kalau mobil-mobilan ya aturan dalam bermain mobil-mobilan itu seperti apa, gitu ya. Ini apa nih? Pedang. Main tembak-tembakan loh. Aturan main tembak-tembakan itu seperti apa? Jadi semuanya kita jelaskan. Jangan sampai kita ngasih mainan kepada anak. Kemudian kita tidak menjelaskan aturan mainnya. Yo nanti yang terjadi apa? Yang terjadi adalah tembak-tembakan digunakan untuk pedang-pedangan. Mobil-mobilan digunakan untuk lempar-lemparan. 

 

Jadi jangan membatasi gerak anak, tapi buatlah arahan yang sesuai dengan aturan main permainan itu. Ya, supaya apa? Ya, supaya teratur. 

 

Yang kedua, ajak anak ke tempat luas minimal sepekan sekali.. Apalagi kita yang tinggal di kota yang masyarakat urban dari desa kayak saya ini. Ya di sini tahu sendiri kavling rumah itu besarnya seberapa gitu. Kemudian anak ya, anak kita lari baru lima langkah sudah kebentur dinding dapur. Lari ke depan baru tujuh langkah, sudah nyampai ke teras rumah. Itu contohnya itu kurang, kurang. Makanya ya benar orang tua-orang tua kita dulu kok bikin rumah enggak tanggung-tanggung itu ya. Bikin rumah luas ya pasti yang dipikirkan pertama kali adalah halaman, yang mana rumah dan halamannya itu hari ini kalau dibagikan sebagai warisan kepada tujuh anaknya itu masih sangat layak untuk jadi tujuh rumah. Tapi dulu punya satu orang itu dipakai untuk lari-larian, di situ kita saya ngajak teman-teman saya untuk main bola, bikin lapangan voli, kemudian kita main gundu dan seterusnya lah. Jadi ajak anak ke tempat luas minimal sepekan sekali. Biarkan ia berlarian, melompat, melempar bola dan sebagainya. Wis pokoknya lepas. 

 

Ini tadi mempertebal apa yang disampaikan oleh Umar bin Khattab yang biasa, ya sering meminta anaknya di pagi hari untuk keluar rumah. Ya, tujuannya apa? Tujuannya tujuan psikologis, supaya tidak ada kecemburuan dan iri-irian satu sama lain. Itu karena ya kalau di rumah terus, jalan ke dapur apalagi kalau anaknya lima. Masuk kamar ada saudaranya, ke ruang tamu ketemu lagi saudara yang satunya. Ke teras ada lagi saudara yang satunya, ke dapur ketemu lagi saudara yang lainnya. Sehingga ya tadi itu kejenuhan, kebosanan. Akhirnya iseng. Nah, iseng, ngisengin siapa? Ngisengin saudaranya. Ya sudah. Jadi suruh keluar, pokoknya ke tanah lapang deh. 

 

Dan itu kan yang dulu dilakukan oleh Nabi di usia Rasulullahi Muhammad sallallahu alaihi wasallam itu dibelah dadanya ada riwayat menyebutkan usia 2 tahun, ada riwayat menyebutkan usia 4 tahun. Tapi kalau dilihat dari cara Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menceritakan peristiwa itu ya kayaknya 4 tahun. Itu di atas 4 tahun karena nanti usia menjelang 6 tahun dikembalikan kepada ibunya. Loh apa yang dilakukan oleh Nabi? yang dilakukan oleh Nabi ya berlari-larian bersama dengan saudara sesusuannya itu ke tanah lapang, untuk kejar-kejaran bersama, kalau ada domba yo dengan domba wis pokoknya ceria dengan kelapangan ruangan itu gitu ya. 

 

Nah, kalau rumah kita tidak luas ya berarti kita harus punya program minimal seminggu sekali ya. Luangkan wis ke mana ya. Ya teman-teman mungkin tiap daerah punya tempat yang berbeda-beda gitu ya. Kalau di sini sekitar sini yang luas juga banyak bisa diajak ke BuPerta sana Cibubur tu ya atau mau jalan-jalan ke UI sana atau ada car fre day di Margonda situ atau di Sudirmrono yang jauh tapi wis enggak perlu jauh-jauh sing penting ketemu tanah lapang itu aja dah. Oke. 

 

Kemudian yang ketiga, jangan bosan saat anak meminta untuk berulang kali ke tempat bermain yang sama. Saya garis bawahi berulang kali ke tempat bermain yang sama. Kenapa? Pengulangan itu menunjukkan bahwa permainan itu menyenangkannya, karena sesuai dengan kebutuhan fitrahnya dan konflik batinnya. 

 

Maka kadang anak diajak ke mall, di lantai tertentu ada spot untuk bermain. Tiap kali ke situ pengin, minggu depan ke situ pengin dibayarin lagi masuk ke spot bermain itu. Dan terus begitu itu lah kita komentarnya loh mbok yang lain saja apa enggak jenuh? Loh, jenuh itu kan sudut pandang kita. Ketika anak meminta itu berulang-ulang, berarti ada konflik batin yang dia terapi dengan permainan itu. 

Loh, kenapa kok enggak disampaikan kepada kita saja? Lah itu ya babnya wong anak usia 4, 5 dan 6. Jadi lewat permainan itu kita bisa kok ini berkali-kali dimainkan gitu ya. Apalagi mainannya suka mainan-mainan tertentu. Habis minta dibelikan mobil-mobilan nanti minta lagi mobil-mobilan, minta lagi mobil-mobilan, minta lagi mobil-mobilan dengan model yang berbeda. Tapi temanya tetap satu, yaitu mobil-mobilan. 

 

Kita harus melihat jauh ke dalam jiwa anak ya, ada fitrah yang ingin dia penuhi dengan itu. Ini babnya bukan ‘oh anakku hobi otomotif ‘, lebih daripada itu. Urgensinya lebih daripada itu, dan dia melihat bahwa ada tekanan-tekanan, konflik-konflik batin yang bisa diselesaikan dengan mainan itu, gitu ya. Oke. 

 

Kemudian poin nomor empat dalam masalah permainan anak, manfaatkan permainan untuk mendeteksi kondisi mentalnya. Hari ini ada istilah terapi bermain. Anak mengekspresikan kondisi mentalnya, perasaannya pada permainannya. Jadi kalau anak-anak bermain, anak perempuan main boneka, perhatikan jangan hanya cuma ngasih boneka, tapi kita tidak memperhatikan bagaimana anak itu berinteraksi dengan bonekanya. Kalau dia marahin bonekahnya ya sebenarnya ada perasaan yang ingin dia ekspresikan. Entah itu yang biasa dia dapat dari ibunya, yang biasa dia dapat dari ayahnya, kemudian dia ekspresikan kekesalan itu pada bonekanya. Makanya perhatikan dan cermati. Jangan anggap sepele ketika anak ngobrol dengan bonekanya kemudian obrolannya itu obrolan-obrolan yang kasar, marah, dan seterusnya. Itu adalah sinyal bagi orang tua yang peka. 

 

Ada juga yang menyayang-nyayang bonekanya. Mahal sih tidak, bagus juga enggak gitu. Tapi dia sayang, dia rawat. Ya, kalau ngobrolnya pun juga ngobrol yang menenangkan bonekanya itu. Padahal boneka enggak bernyawa. Cup cup cup. Jangan nangis, tenang, ada aku dan seterusnya. Lah itu ya sebenarnya ada sinyal kondisi kejiwaan dan perasaan yang mesti kita tangkap dan ini catatan juga bagi kita habis ngasih mainan jangan dibiarkan begitu saja, tapi amati. Amati. 

 

Makanya sejatinya yang punya catatan tentang kondisi kejiwaan anak kita itu ya mestinya kita sendiri orang tua itu, amati itu anak ketika dibelikan mobil-mobilan, ini anak laki-laki kalau ini mobil-mobilan gitu kemudian yang satu main mobil-mobilan gitu sambil mobilnya disus gitu ditabrakkan sini tabrakkan sini tabrakkan sini ya gitu loh. Bisa jadi itu yang dia dapat, dari apa? Dari cara nyetir ayahnya yang emosian. Apalagi sampai sambil teriak pakai mulutnya. W w w gitu ya. Wis macam-macamlah. Dia tabrakkan ke sini dia wis wis wis wis pokoknya enggak santai gitu. Pahami itu dia sedang sedang apa ya? sedang menyampaikan sebenarnya perasaan yang tidak nampak itu sedang dikabarkan kepada kita lewat permainan itu. 

 

Tapi ada juga anak dikasih mainan mobil-mobilan, sama mereknya, modelnya sama, tapi dia ya memainkan mobil-mobilan ngeeng itu kadang sambil apa haming gitu ya, bergumam gitu, menirukan lagu itu, menirukan suara-suara tertentu. Nananaa dan seterusnya begitu. Itu kenapa? Ya, karena itu yang didapati, happy ketika sedang berkendara, tidak ada emosi. Pahami ya? Jadi pilihkan mainan. Setelah membelikan mainan, perhatikan bagaimana interaksi anak kita dengan mainan. Itu data kejiwaan anak semuanya itu ya. Data itu. 

 

Kemudian yang poin nomor lima, manfaatkan bermain sebagai sarana pendidikan. Ya, contohnya bermain bola jadi sarana untuk mendidik akhlak tolong-menolong dalam mencapai tujuan. Karena kalau pengin bisa ngegolin, yo enggak bisa egois kamu, gitu ya. Bisa direbut bolanya sama lawan, kalau kamu egois pokoknya harus aku yang ngegolin gitu. Kemudian apa? Membantu saat ada teman yang jatuh. Itu empati itu ya, hal lewat bermain karena dunianya anak ya dunia bermain itu ya. Dan mengakui kesalahan jika melakukan pelanggaran. 

 

Kalau kamu jegal kaki temanmu kemudian temanmu jatuh, ya kamu harus mengakui itu sebagai sebuah kesalahan. Nah, masuknya lewat bermain. Dan jangan lupa juga berarti ketika anak izin, "Mak, aku mau main bola sama fulan." Nah, berarti kita juga harus ngerti, entah sebelum main bola atau malam hari setelah main bola. Ya. Kemudian kita dialog ngobrol sama anak kita tadi main bola, gimana dia anak tuh cerita begini dan seterusnya. Kemudian kita sampaikan makna-makna yang bisa dipelajari dari bermain bola itu. Kamu gak boleh egois loh, Nak. Kalau lagi bermain bola dengan timmu, dengan kelompokmu harus bekerja sama. 

 

Jadi kita harus latihan untuk memaknai tuh, anak izin lagi main apa, main apa biasanya, apalah begitu ya. Kemudian malam harinya kita ajak ngobrol anak tentang tema bermainnya itu tadi siang main apa dengan teman-temannya ya, sudah lewat itu kita memasukkan nilai-nilai sosial, moral, etika dan seterusnya ya. Jadi menggunakan bermain sebagai sarana pendidikan. Sarana loh ya. Oke, bukan tujuan, beda. 

 

Keteladanan dari kekasih kita Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. 

 

Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah berkata, "Kedua mataku menyaksikan dan kedua telingaku mendengarkan saat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memegang tangan Hasan sambil berkata,..

 

Jadi kedua tangan Hasan, Hasan itu cucunya Nabi, putranya Ali dengan Fatimah itu dipegang begini. Kemudian apa?

 

" Kemudian Nabi mengatakan, "Naiklah si mata imut." 

 

si mata imut itu artinya ya Hasan tadi itu. Jadi matanya luculah yang jelas gitu ya. Oke. Dan boleh memuji fisik daripada anak kita gitu ya yang akan menambah anak semakin dicintai dan menambah rasa aman dalam jiwa anak kita. 

 

“…Naiklah si mata imut kata Nabi.” Begitu. Kemudian beliau menaruh kedua kaki anak itu di atas kakinya. Jadi kedua tangannya dipegang begini. Kedua kakinya menginjak kedua kaki Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam.

 

Lalu Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengangkat Hasan itu sampai ke dada. Jadi kakinya Hasan dari kakinya Nabi diinjek kemudian naik ke betis depannya Rasulullah, kemudian naik ke lututnya Nabi, naik ke pahanya Nabi, naik ke perutnya Nabi sampai naik ke dadanya Nabi. Tapi posisi tangannya dipegang begini nih sama Rasulullah. Begitu sudah sampai atas, sampai dada didekatkan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Kemudian apa? 

 

Rasulullah menciumnya sambil berkata, "Ya Allah, sungguh aku mencintainya. Maka cintailah dia”. Main. Jadi, Nabi main sama cucunya gitu ya. Ini keteladanan dari Nabi. 

 

Ini juga masih nih keteladanan dari Rasulullah. Dari Abdullah bin Harit berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam membariskan Abdullah bin Abbas, Ubaidillah bin Abbas dan Kutsair bin Abbas. Lalu Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berkata, "Barang siapa yang duluan menghampiriku maka akan aku beri hadiah." Kata Nabi, gitu. Jadi dibarisin kemudian lomba lari finishnya Rasulullah.

 

Jadi, Bapak Ibu bisa bayangkan berarti Nabi menata tiga anak itu dulu, membariskan tiga anak itu dulu. Kemudian Nabi berjalan menjauhi mereka, kemudian Nabi mengatakan, "Siapa yang sampai aku duluan, maka akan aku beri hadiah." 

 

Lihat ini yang repot Nabi loh. Repot secara fisik gitu ya. Jadi bukan kok kemudian Nabi berdiri kemudian bilang di sana ada pohon kalian ke sana dulu ya. Ya, kalian baris di samping pohon itu baru nanti kalau sudah baris di sana siapa yang dulu-duluan nyampai ke aku, maka akan kasih hadiah lah. Itu mager namanya. Ini nabi loh yang harus riweh tuh, yang harus banyak gerak tuh. 

 

Maka mereka pun berlomba untuk menghampiri beliau hingga ada yang naik ke punggung dan dada beliau. Lalu beliau menciumi dan menggendong mereka. Wis lari lari lari lari lari. Begitu nyampai ke Nabi, bukan hanya mereka menyentuh tubuhnya Nabi, tapi ada yang sampai lompat dari belakang tubuh Nabi. Berarti gendong belakang tuh. Ada yang lompat dari depan sehingga gendong ke depannya Nabi naik ke dada gitu ya. Dan ada yang menggelandoti tangannya Nabi atau kakinya Nabi. Nabi menggendong mereka dan menciumi mereka. Ya, artinya kurang lebih kalau kita ilustrasikan yang digendong di belakang satu, yang digendong di tangan kanan satu, digendong di tangan kiri satu dan semuanya diciumi oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Dan ini ya posisinya kalau kalau Abdullah bin Abbas, Ubaidillah bin Abbas dan Kutsair bin Abbas ya itu ya berarti mereka adalah sepupunya Rasulullah, cuma secara usia jauh di bawah Rasulullah. Jadi posisinya posisi sepupu ya. Kalau Hasan tadi posisinya posisi cucu, kalau ini sepupu. Karena Abbas ya dia saudara bapaknya Rasulullah, saudaranya Abdullah, bapaknya Nabi gitu.

 

 Jadi kita bisa bayangkan seasyik itulah Rasulullah. Makanya nanti yang terjadi, realita di Kota Madinah itu kalau Nabi Muhammad itu baru pulang safar dari perang, maka yang pertama kali akan menyambut Nabi itu adalah anak-anak kecil. Mereka semuanya pada berlarian. Ya, yang mereka sambut siapa? Bukan bapaknya yang mereka sambut adalah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Kan Nabi itu asyik orangnya dengan anak-anak. Jadi mereka asyiklah kurang lebih bermain dengan Nabi.

 

Kemudian kalau ini kalau tadi memo dalam permainan anak, kalau ini membeli mainan.  


Tips membeli mainan untuk anak. Setidaknya ada lima poin yang perlu diperhatikan. 


1.     Yang pertama, apakah mainan itu merangsang keaktifan fisik anak dan membantu kesehatannya? Artinya membuat anak bergerak atau tidak? Atau justru membuat anak tidak banyak bergerak. Jadi motori kasar, melatih motori kasar anak atau tidak, keaktifan anak secara fisik atau tidak. Tapi ya kalau kemudian oke jawabannya, iya atau tidak? Ada mainan yang jawabannya adalah iya. Merangsang itu. Ada mainan yang jawabannya adalah tidak. Ya, yang tidak merangsang keaktifan fisik anak. 


2.     yang kedua, apakah mainan itu melatih anak untuk menjadi eksploratif dan berlatih mengendalikan sesuatu? Ada mainan-mainan di mana cara memainkannya itu dia harus mengendalikan sesuatu yang ada pada mainan itu. Kalau tidak dikendalikan, maka enggak bisa dimainkan. Itu latihan juga. Kemudian membuat dia makin eksploratif atau tidak? Oke, jawabannya iya atau tidak. Ada mainan yang membuat anak menjadi eksploratif, melatih anak untuk mengendalikan sesuatu yang dia jadikan sebagai mainan itu. 


3.     Yang ketiga, apakah mainan itu melatih keterampilan, membongkar dan menyusun? Berarti ada mainan yang dia karakteristiknya tidak begitu, ada yang mainan yang karakteristiknya begitu. 


4.     Kemudian apakah mainan itu memotivasi anak untuk meneladani perilaku orang besar dan membentuk pola pikirnya seperti mereka orang besar itu? 

Permainan tapi yang dibentuk adalah supaya anak itu punya pola pikir seperti pola pikirnya orang dewasa. Seandainya dalam kajian tinjauan syariat itu diperbolehkan dalam mengelola keuangan walaupun ada banyak catatan ya dalam permainan itu seperti monopoli sebenarnya itu membentuk pola pikir orang dewasa di dalam membelanjakan harta. 


Nah, itu pendidikan ekonomi yang real banget sebenarnya tinggal dikaji saja yang namanya juga monopoli, ya kan. Maka siapa yang pandai memonopoli, hotel ini sudah tak buat loh. Kamu kalau ke sini ya berarti harus bayar ke aku. Ya pintar-pintaran saja berinvestasi. Tapi itu coba dibuat versi lainnya itu permainan melatih, membentuk pola pikir orang dewasa ya. itu makanya ya dulu zaman saya di kampung kemudian ada kita beli monopoli main bareng-bareng ya logika kita yang kemudian oh kalah di putaran pertama oke nanti bagi-bagi lagi duitnya, putar lagi ininya dan saya saya ngasih contoh masalah, boleh tidaknya nanti tinggal kita kaji dalam perspektif fikihnya nanti bagaimana tapi cuma ngasih contoh. Andai ada yang versi baiknya ya nanti yo ada konsep zakatnya. 


Kenapa? Karena duitmu sudah di atas nisab nih. Nah gitu ya. Maka kamu harus mengeluarkan zakat ya. Berarti ada baitul mal di sana 2,5% dan seterusnya. Jadi buat mainan yang membentuk pola pikir anak-anak seperti pola pikir orang-orang hebat. Seperti pola pikirnya Utsman, seperti pola pikirnya Abdurrahman bin Auf, seperti pola pikirnya Khalid bin Walid ketika perang Mu’tah itu contohnya. Strategi perang, strategi perang ya nanti akhirnya game online.


5.     Kemudian apakah mainan itu mendidik tabiatnya? Apakah mainan itu mendidik tabiatnya, melembutkan jiwanya, dan membentuk adabnya? 

 

Lima pertanyaan ini. Jika iya, maka belikan mainan itu. Ya, jika jawabannya iya terkait dengan mainan yang mau dibeli, maka belikan. 

 

Yang kedua, ngobrol. 


Perubahan perilaku yang menonjol pada anak di usia ini adalah pada caranya dalam mengungkapkan sesuatu, komunikasinya dengan orang yang ada di sekitarnya. Kemampuannya dalam berinteraksi dan memahami hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, kecenderungan dalam banyak bertanya dan terkadang menolak pakem, menolak nilai yang sudah jadi pakem Itu dipertanyakan oleh anak. Ini adalah ciri bahwa mereka dipersiapkan secara alamiah untuk menerima ilmu, karena sebentar lagi mau usia 7 tahun. Dan itu apa? Dan usia 7 tahun ya usia dimana anak sudah mesti belajar lebih serius. Dan untuk belajar itu receivernya adalah akal dan pintu awal ilmu itu adalah bertanya. 

 

Maka sebenarnya secara alamiah anak itu usia 4,5, 6 sudah disiapkan oleh Allah untuk menjadi anak-anak pintar dengan apa? dengan banyak bertanya. Cuma kita tidak memanfaatkan fasilitas alamiah pendidikan dari Allah itu, dimana kita tidak meladeni pertanyaan-pertanyaan mereka. Ya, akhirnya malas mereka untuk bertanya lagi. Wong tidak diapresiasi, wong tidak ditanggapi. Padahal itu fasilitas alamiah. 

 

Jadi semua anak itu dikasih fasilitas alamiah untuk pintar begitu itu dan pintunya pintar itu bertanya. Makanya Ibnu Abbas pernah ditanya, "Kamu itu kok bisa punya ilmu sebanyak ini? Kok bisa jadi orang secerdas itu? Rahasianya apa?" 

 

Ibnu Abbas mengatakan, "Qolbun aqul lisanun saul." Aku itu punya akal yang aktif berpikir dan aku punya lisan yang banyak bertanya. Dan bukankah itu kebutuhan anak di usia 4,5, 6? Artinya secara alamiah anak itu sudah di-setting untuk banyak untuk jadi anak pintar. Cuma lingkunganlah yang menjadikannya menjadikannya enggak pintar gitu. 

 

Tips menjawab pertanyaan anak. 

Nah ini masih kebutuhan loh ini. Menjawab pertanyaan dengan,

1.     pertama jawab pertanyaan dengan jujur. Kalau enggak tahu jangan mengada-ada. 


Di usia ini anak kritis kadang bertanya tentang ayat-ayat kosmik, tentang malam, tentang siang, tentang pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas. Dan yang sulit itu sebenarnya adalah menjelaskan sesuatu yang sudah jelas. Kenapa ya, kok matahari itu kalau siang hari panas ya gitu lah. 


Kadang hal-hal yang begitu-begitu itu kita saking jelasnya, kadang kita tidak memiliki knowledge tentang itu, secara eksakta kita enggak memiliki tentang itu. Terus ya akhirnya kita enggak punya jawaban lah. Kalau enggak ngerti jangan mengada-ada. Kalau enggak ngerti gimana? Ya sudah apresiasi, pertanyaan cerdas. Nanti kita akan bertanya kepada ahlinya. Kita ajak untuk ketemu dengan ahli A, ahli B, pakar A, pakar B. Wah, itu menambah energi keilmuan pada anak kita. 


Nah, karena hidup ini kan sebenarnya mana yang energinya gede mempengaruhi yang energinya kecil, menarik yang energinya kecil. Pakar-pakar ilmu itu energi ilmunya gede. Kalau anak kita dekatin, yuk nanti kita tanya ke pakar biologi nih nak. Nah, gurunya ayah dulu atau temannya ayah dulu? Nah, gitu. Kemudian kita minta untuk menjelaskan itu energi orang gede loh. Itu energi ilmunya, kena tuh anak kita dapat tambahan energi. Ya itu kalau kita mau pakai teorinya Nikola Tesla. 


2.     Kemudian memanfaatkan pertanyaan anak untuk memupuk gemar membaca ya. Kalau anak bertanya kemudian kita enggak ngerti jawabannya manfaatkan itu untuk apa? memupuk anak gemar membaca, “nak nanti ya akhir weekend nanti ayah kosong kita ke toko buku untuk beli buku tentang apa yang kamu tanyakan tadi”. Jadi di buku ada, di buku ada, di buku ada, di buku ada. 


Ketika hal itu terulang, terulang, terulang, terulang pada anak, ya berarti pertanyaan-pertanyaan anak itulah yang kemudian diolah oleh orang tua dijadikan sebagai energi untuk mendekatkannya pada gemar membaca. Dan ini penting Bapak-bapak, Ibu-ibu gemar membaca itu penting, karena pendidikan hari ini sebagian besar gagal mencetak lulusan yang gemar membaca. Mereka bisa membaca tapi enggak gemar membaca. Ini PR pendidikan formal maupun nonformal hari ini.

Makanya saya sering menyampaikan di kajian-kajian parenting bahwa ilmu yang hari ini paling enggak barokah itu ilmu membaca. Kenapa? Diajarkan pertama kali di usia anak dan ditinggalkan pertama kali ketika anak sudah lulus sekolah atau kuliah. Lihat tuh anak usia 1 tahun, 2 tahun sudah kita buat, kita belikan gambar, di situ ada huruf alfabet A B C D E angka 1 2 3. Karpetnya pun juga kita belikan karpet yang ada numeriknya, ada huruf-hurufnya supaya anak dekat familiar dengan huruf-huruf itu, belajar itu. 


Jadi baca itu adalah ilmu yang diajarkan oleh pendidikan hari ini pertama kali kepada anak didik dan ternyata ilmu yang pertama kali ditinggalkan setelah mereka lulus belajar. Ini PR banget, PR banget. Makanya yo ngajari anak baca itu gampang. yang tidak mudah itu adalah membuat mereka gemar membaca. Makanya ya nanti perlu dibuatkan lebih mendalam lagi ini satu kajian tersendiri gimana memupuk gemar membaca kepada anak. 


3.     Jika anak tidak aktif bertanya, pancinglah dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membuatnya berpikir. Jadi kalau anak itu pendiam, enggak banyak nanya, kemudian enggak banyak mempertanyakan, enggak banyak membantah, enggak banyak memprotes, kita nganggapnya itu anak baik ya belum tentu. 


Biasanya anak 4, 5, 6 itu mengalami ledakan bahasa karena setelah buat kamus 3 tahun, sekarang pengin mengeluarkan kamus itu. Makanya dalam kajian perkembangan anak namanya taurah lughawiyah. Ledakan bahasa. Kayak punya mainan baru penginnya ngomong aja. Itu kok anak 4, 5, 6 tahun enggak banyak ngomong pendiam. 


Kalau usia 25 tahun pendiam itu keren, itu bagus, itu diam adalah emas. Tapi kalau 4, 5, 6 kok pendiam itu bukan diam yang emas. Itu masalah. Maka orang tua harus melakukan apa? Harus memancing anak itu, dengan apa? Dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Sederhana itu gimana? Ya di rumah ada akuarium kemudian atau kita lagi duduk sama anak sama-sama diamnya tiba-tiba ada nyamuk gigit tangan kita kemudian kita gatal atau gigit tangannya anak kemudian gatal, kita cuma nanya kenapa ya digigit nyamuk itu kok rasanya gatal lah itu aja sederhana. Sehingga memancing anak untuk berpikir yang sederhana itu. 


Memancing anak untuk berpikir tidak rumit sih sederhana karena sangat dekat sekali. Kemudian ada air terjun. Kenapa air terjun dari atas ke bawah yo enggak dari bawah ke atas. Nah, gitu. Kalau dari bawah ke atas namanya air mancur, Pak. Tapi itu pertanyaan-pertanyaan sederhana. Jadi kalau anak enggak banyak bertanya, kita yang aktif bertanya. Kemudian kalau kita lagi jauh dengan anak kita, kita di tempat kerja atau kita lagi safar, kemudian kita jauh secara fisik dari anak, gunakan telepon untuk berbicara dengan anak. 


Ya, kadang yang ngangkat ibunya atau bapaknya. Kalau anak lagi sama bapaknya, sama ibunya, ibunya. Tapi bilang, "Aku pengin ngobrol sama fulan ya, anak pertama kita itu sama fulan anak kedua, sama fulan anak ketiga, sama fulan anak keempat, sama fulan anak kelima. Itu bagus sekali. 


4.     Kemudian hindari pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya itu hanya iya, tidak, he’eh, mau, enggak mau. Sudah makan? sudah. Gimana ujiannya tadi? Susah atau mudah? Mudah. Kamu senang gak? Enggak. itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak melatih kemampuan anak didalam mengungkapkan atau mengekspresikan apa yang ada dalam dirinya dengan kata-kata. Hindari yang begitu-begitu itu. 


5.     Kemudian yang terakhir ya berkaya diri dengan banyak membaca buku-buku seputar itulah. ini tak sebutkan ada dua, yang nomor dua itu yang penulisnya sudah sangat familiar dunia jagad parenting Indonesia. Abdul Karim Bakar itu, bukunya banyak dijadikan sebagai referensi dan dalam webinar kita ini ya buku-buku beliau menjadi salah satu referensi dari puluhan kitab yang kita jadikan sebagai referensi. Puluhan tuh berarti di atas 20 bukan di atas 10 karena di atas 10 masih belasan. 

 

DUA : Mencermati problematika : Meniru. 

 

Problematika meniru. Anak lebih banyak melakukan apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan. Cermati anak lebih banyak melakukan apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan. 

 

Maka ini berbicara ya tentang apa? tentang kemampuan anak untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Maka kembali pada mukadimah kita di pertemuan pertama. Kalau kamu sudah niat pengin jadi orang tua, maka kamu harus berubah belajar jadi baik. Kenapa? yang kamu lakukan itu akan dilihat dan melakukan dari apa yang dilihat lebih mudah daripada melakukan dari apa yang diperintahkan. 

 

Itu makanya Nabi ketika nyuruh salat, Nabi mengatakan, "Solu kama roitumuni usoli." Yo, salatlah kamu kayak kamu ngelihat aku salat ini loh. Untuk mengajarkan pentingnya salat. Aisyah itu sampai ngomong, "Nabi Muhammad itu kalau di rumah nyantainya luar biasa. Kalau istrinya di dapur, dia di dapur. Istrinya bersih-bersih, beliau bersih-bersih. Istrinya jahit, beliau jahit.” 

 

Enggak pernah tuh. Aisyah di dapur, Nabi di kamar main gadget gitu. Karena enggak ada gadget. Tapi enggak pernah, enggak satu ruangan kalau lagi di rumah loh ya senyantai itu loh. Nabi itu enggak pernah yang satu di depan, yang satu di belakang. Enggak pernah. Kalau lagi di rumah gitu. Tapi kalau sudah dengar azan, Aisyah cerita Nabi itu langsung beranjak menyiapkan diri seolah-olah dia enggak mengenaliku. 

 

Dengan itu saja, anak melihat nanti yang terjadi adalah apa? Oh, salat itu penting ya. Itu lebih mengena dibanding kita mengatakan salat itu wajib, salat itu penting, lebih mengena apa yang dicontohkan oleh Nabi itu. 

 

Mustafa Abu Sa’d ini bukunya bagus nih, tapi enggak tahu sudah ada terjemahannya atau belum. Beliau mengatakan ini saya suplikan dari tulisan beliau, programmer awal pada anak untuk urusan perilaku, nilai dan keyakinannya adalah orang tua. Ya. Kemudian beliau menjelaskan hadis tentang kullu mauludin yuladu alal fitrah. Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya punya pola pikir dan gaya hidup Yahudi, punya pola pikir dan gaya hidup Nasrani, atau punya pola pikir dan gaya hidup majusi gitu. Jadi, programmer awalnya adalah kita orang tua. Maka kita harus hati-hati. Kalau kita sudah niat mau jadi orang tua, maka kita harus punya kesadaran untuk belajar memperbaiki diri. 

 

Ini ditulis oleh Abu Sa’d tadi itu Mustofa Abu Sa’d itu. Kemudian karena bahasanya sangat dramatik ya, kemudian saya coba hadirkan di sini sebagai renungan bagi kita semuanya. Saya ngasih judul-judulnya sih My Hero ya. 

 

Saat engkau mengira saat engkau mengiraku tak melihat, aku mendapatimu selalu mengerjakan salat, maka aku jadi belajar bahwa ada Tuhan yang bisa selalu aku ajak bicara. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, aku mendapatimu menyiapkan makanan dan memberikannya kepada tetangga yang sakit. Maka aku belajar membantu orang lain. 


Saat engkau mengirau tak melihat, aku mendapatimu memberikan uang kepada orang miskin. Maka aku belajar bahwa orang yang memiliki uang mesti berbagi kepada yang tidak memilikinya. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, aku mendapatimu memperbaiki selimutku di malam hari dan aku merasakan aman dan cinta. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, aku mendapatimu merawat rumah dan isinya dengan baik. Maka aku belajar bahwa semua yang kita miliki mesti aku pelihara. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, aku mendapatimu mengerjakan sesuatu meskipun sukar, banyak tantangan, banyak halangan. Maka dari situ aku belajar tentang tanggung jawab. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, aku mendapatimu mengusap air mata. Maka aku belajar bahwa dalam hidup ada hal yang melukai dan tidak mengapa aku menangis. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, engkau menangis dalam salat, maka aku belajar bahwa dalam munajat itu ada kelezatan dan air mata. 


Saat engkau mengiraku tak melihat, aku banyak mendapatkan pelajaran-pelajaran kehidupan yang berharga untuk masa depanku. 

Dan saat engkau mengira aku tak melihat, aku melihatmu dan ingin mengatakan terima kasih untuk semua keteladanan. 

 

Jadi ini beberapa hal karena bagi saya sebenarnya anak usia 4, 5, 6 enggak mungkin menyampaikan ini tapi inilah sebenarnya yang kurang lebih ditangkap oleh Dr. Mustofa Abu Saad gitu, tentang apa yang terjadi pada jiwa anak gitu di usia itu walaupun tidak bisa mengungkapkannya, walaupun tidak bisa mengekspresikannya dengan bahasa. 

 

Keteladanan Nabi

Kemudian keteladanan dari sang Nabi, terkait dengan apa? Terkait dengan keteladanan tadi ya, tentang meniru. Apa? 

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa berkata kepada anak kecil, kemarilah aku kasih sesuatu kemudian tidak kemudian dia tidak memberinya, maka itu adalah kebohongan." 

 

Ini babnya bab keteladanan. Ibu bilang kepada anaknya, "Pulang, tak kasih duit gitu sampai rumah enggak dikasih duit." Itu orang tuanya dosa. Walaupun bohongnya kepada anak usia 4, 5, dan 6. Kenapa? Karena dia telah meng-copy paste kebohongan itu pada mental anaknya. Sedangkan semua akhlak itu bawaan lahir. Kecuali bohong, itu nemu di tengah jalan. 

 

Malu itu bawaan lahir. Ada yang dapat jatah malu banyak. Ada yang jatah ada yang dapat jatah malu sedikit. Ada yang dapat jatah marah banyak, ada yang dapat jatah marah sedikit. Semua hal, semua akhlak itu adalah bawaan lahir dan Allah baginya beda-beda. Kayak Allah bagi harta kepada hamba-hambanya beda-beda. Yang tidak bawaan lahir itu adalah bohong. Bohong itu proses pendidikan. Entah didapat oleh anak itu di lingkungan rumahnya, di lingkungan sekolahnya atau di lingkungan di lingkungan sekitarnya, masyarakatnya. 

 

Ini babnya bab keteladanan. Sama ini juga hadis riwayat Imam Baihaqi, dari Abdullah bin Amir, suatu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mendatangi rumah kami saat itu aku masih kecil. Lantas aku pergi bermain. Kemudian ibuku memanggilku, "Abdullah, pulanglah. Aku kasih sesuatu. Seketika Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bertanya, "Apakah yang hendak engkau berikan?" Ibuku menjawab, "Aku akan memberikan akan memberinya kurma." Nabi mengatakan, "Adapun jika kamu tidak memberikannya, maka ditulis satu kebohongan atasmu." 

 

Ini babnya bab tentang kebohongan nih. Karena apa? Karena Nabi ndak pengin orang itu meng-copy paste kebohongannya itu pada perangkat device anaknya. Ya, itu sama seperti ngopi virus bukan ngopi file itu, ya kayaknya file tapi sebenarnya virus. Ya, begitu yang kita copy ternyata virus, begitu kita klik, wah langsung nyebar jadi karakter yang gampang gitu. Padahal bukan fitrah, tapi gampang dipelajari oleh anak.  Kenapa virus? kayak program tapi virus sebenarnya? 

 

Keteladanan dari salaf. Nah, ini teladan juga nih. Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bercerita bahwa ia sering mendengar ayahnya mengucapkan sesuatu sampai ia menghafalnya. Makanya, pelajarannya kalau baca zikir, baca doa ya sampai kedengaran suaranya. Jadi anak itu hafal karena sering kita baca. Lantas ia ingin menanyakan tentang kalimat itu. “Ayah, aku sering mendengarmu membaca Allahumma afini fi sami. Allahumma afini fi bashori, Allahumma afini fi jasadi sebelumya. Kemudian aku sering mendengarmu membaca Allahumma afini fi jasadi. Allahumma afini fi sammi allahummaini fi bash la ilahailla anta, setiap pagi tiga kali dan setiap petang tiga kali”.

 

Maka ayahnya menjawab, "Nak, sungguh aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wasallam membaca itu dan aku ingin mengikuti sunnahnya." 

 

Lihat anak itu ini Abdurrahman bin Abi Bakrah ini dia hafal itu dari ayahnya karena sering mendengar ayahnya membaca itu. Makanya keteladanan penting. 

Dan nasihat Uqbah bin Abi Sufyan saat mengantar anaknya menemui gurunya, apa kalimatnya? Hal pertama kali yang harus kamu lakukan dalam mendidik anakku adalah memperbaiki dirimu. Kenapa? Karena kebaikan menurut anakku adalah apa yang kamu anggap baik. Keburukan menurut anakku adalah apa yang kamu anggap buruk. Artinya apa? Semua yang kamu kerjakan itu akan dianggap baik loh oleh anakku. Dan semua yang enggak mau kamu kerjakan akan dianggap enggak baik oleh anakku. 

 

Jadi, anak usia 456 melihat baik gak baik itu tidak dari penjelasan etimologis maupun terminologis. Nggak. Ini ada dalilnya loh dari Quran, dari hadis. Gak dari situ anak mengidentifikasi baik itu apa? Kok dikerjakan oleh orang yang memiliki otoritas atas dirinya, dianggap baik walaupun tidak baik. Nganggap keburukan itu apa? Kalau sesuatu enggak dikerjakan oleh orang yang punya otoritas atas dirinya, maka dianggap buruk walaupun baik.

 

Tiga : Menanamkan nilai. 

 

Pada usia ini layaknya tanah yang subur untuk ditanami benih-benih pendidikan dan yang paling utama untuk ditanamkan adalah hubungannya dengan Qur’an. 

 

Keteladanan langsung keteladanan dari salaf Mus'ab bin Saad bin Abi Waqqas berkata, "Saat ayahku mendengar hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam, sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Qur’an dan mengajarkannya, maka ia langsung mendudukkanku di depannya dan berkata, "Wahai Mus'ab, bacalah Al-Qur'an yang sudah kamu hafal." 

 

Coba kita kan suka dengar nih hadis-hadis Nabi ini ya. “Sebaik-baik kalian yang belajar Quran dan mengajarkannya”, pernah enggak kita langsung manggil anak kita duduk di depan kita lalu meminta untuk menghafal apa yang sudah dihafal oleh anak kita? Simpel sebenarnya contoh-contohnya itu. 

 

Abdullah bin Mas'ud waktu itu sakit mau meninggal dunia. Kemudian didatangi oleh Utsman bin Affan. Lalu Utsman bertanya, "Apa yang kamu keluhkan?" Ibnu Mas menjawab, "Dosa-dosaku." Utsman bertanya, "Apa yang kamu harapkan?" "Rahmat Tuhanku." Jawabnya Ibnu Mas'ud. Utsman bertanya lagi, "Apakah kamu tidak memintaku untuk memberikan sesuatu kepadamu?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Tidak bermanfaat pemberianmu setelah aku mati."

 

Kemudian Utsman mengoreksi, "Bukan untukmu, tapi untuk putri-putrimu”. Maka apa kata Ibnu Mas'ud? Ibnu Mas'ud menjawab, "Apakah kamu khawatir putri-putriku miskin? Aku berharap kefakiran tidak akan menimpa putri-putriku selamanya. Kenapa? Aku telah menyuruh mereka untuk membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam, maka tidak akan ditimpa kefakiran selamanya." 

 

Lihat tuh bagaimana ini Ibnu Mas'ud, sang pakar Quran ngajarkan pengamalan surah Al-Waqia'ah kepada putri-putrinya itu. 

Anas bin Malik setiap kali mengkhatamkan Quran dan ingin berdoa, maka ia mengumpulkan anak-anaknya. Anak-anaknya Anas sama cucu-cucunya itu lebih dari 110 orang. Jadi, Anas itu punya anak dan cucu. Ketika masih hidup dikumpulkan semuanya lebih dari 110 orang. Banyak banget. 

 

Setiap kali khatam Quran dia kumpulkan anak dan cucunya. Kemudian anak-anak kecil di kampungnya dikumpulkan, untuk apa? Kemudian Anas membaca doa. Mereka anak-anak kecil yang masih suci-suci belum ada dosa itu mengamini doanya Anas. Untuk apa? Menguatkan hubungan mereka dengan Al-Qur'an. 

 

Isa bin Miskin seorang ahli fikih yang juga seorang hakim. Setiap bakda asar ini hakim, dia kumpulkan kedua putrinya dan putri-putri saudaranya untuk mengajari mereka menghafal Quran. 

 

Asad bin Furad ini penakluk Sicilia mengajari putrinya namanya Asma untuk menghafal Quran. 

 

Jadi nilai yang mesti kita tanamkan adalah hubungan dengan Quran. 

 

Tips membangun hubungan anak dengan Quran. 

  • Kondisikan tempat, atur waktu untuk menghafal rutin setiap hari meski hanya sebentar
  • Anak banyak gerak, tidak mengapa mereka belajars ambil bergerak dan bermain
  • Bangun hubungan dengan Al-Qur’an di atas pondasi cinta, hadiah, apresiasi dan rasa asyik, bukan tekanan dan ketakutan
  • Motivasi anak untuk berlomba-lomba dalam menghafal dengan saudaranya atau temannya, terlebih saat di halaqah, libatkan dalam lomba yang berhubungan dengan Al-Qur’an
  • Gunakan bahasa tubuh tertentu saat menyimak bacaan anak
  • Mulailah dengan menghafal surat-surat pendek
  • Jika anak tidak mau belajar Al-Qur’an, berlemah lembutlah padanya
  • Mengulang-ulang adalah kunci menghafal
  • Berikan mushaf khusus
  • Dalam keadaan apapun, anak bisa membawa Al-Qur’an tanpa wudhu

 
Penutup

Terakhir, analisanya Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun ya sosiolog sudah keliling ke mana-mana. Dan beliau mendapati kesamaan model bangunan generasi di wilayah muslim manapun beliau hadir. Apa? 

Semua generasi itu pondasi keilmuannya adalah Al-Qur'an semuanya, baru skill-skill yang lain. Itu analisanya sang sosiolog Ibnu Khaldun. 

 

 
HIKMAH

Setelah menyimak materi, terutama juga di sesi Q & A, ada beberapa hal yang menjadi catatan terutama saat bermain dan ngobrol. Juga setelah membeli mainan. Ternyata juga ada perbedaan dalam memberikan ruang cinta antara anak laki-laki dan perempuan. Sungguh bersyukur, semoga tidak terlambat dalam memperbaiki semua. Semoga Allah ridho atas semua ikhtiar ini, semoga Allah berikan kelapangan hati untuk menapaki jalan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun