Ucapan itu Seperti Isi Teko

 Hari ini jagat media sosial digemparkan oleh kejadian seorang pemuka agama yang menghina dina seorang pedagang minuman di sebuah kajian besar yang diselenggarakan pada hari Rabu, tanggal 20 November 2024.

Kejadiannya sudah lama, tapi viralnya baru beberapa hari ini. Awalnya, aku tidak tahu sama sekali. Hingga kemudian ada salah satu komentar di Instagram yang menyoroti kejadian tersebut. Sebenarnya aku kurang peduli dengan topik penghinaan seperti itu, kenapa? Karena triggering banget secara personal. Namun, karena semuanya memposting dan membicarakan hal tersebut, termasuk saat makan siang di meja makan bareng suami, paksu membahas hal itu, mau enggak mau dong, aku jadi mulai tahu dan mengulik data validnya seperti apa. Ya, karena kejadian penghinaan itu bagiku seperti membuka luka lama.


Membuka Kotak Pandora

Seolah membuka luka lama, menyaksikan kejadian ini membutuhkan boundaries ekstra bagiku, karena aku sangat sensitif dengan hal ini. Walaupun aku tidak dibesarkan oleh ayahku, tetapi dari kecil hingga SMP, aku tinggal bersama almarhum kakek yang gigih berjuang mencari nafkah walaupun serabutan. Hinaan dan cacian sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan sepeninggal beliau, saat ibu kembali ke rumah setelah sekian lama merantau, ibu dan nenek juga pernah menjadi pemulung. Ibu juga pernah seharian berjualan jamu berkeliling penuh peluh tetapi tak menghasilkan serupiah pun.

Kembali ke topik sensitif ini.

Belum lama dari kejadian ini pula, aku menyaksikan belahan jiwaku dihina Dina oleh beberapa keluarga tanpa ampun dan ternyata sudah direncanakan jauh-jauh hari. Seorang Abi yang berusaha menyenangkan semua orang termasuk oknum yang menggulirkan fitnah, berjuang mencari nafkah dan loyal, dihancurkan di hari itu. Dan nahasnya, aku sangat sensitif dengan ucapan kotor sehingga pikiranku pun nge freeze, tak mampu mencerna dan tak mampu berpikir di hari itu. Empat belas April. Tak akan aku lupakan walau aku berusaha memaafkan.

Dari kejadian sosok stafsus Presiden itu you named it, yang berujar kotor itu, aku jadi semakin memahami bahwa karakter tak akan bisa bohong. Sebab karakter hadir di saat sadar bahkan 90% dibawah sadar.


Dulu, masa SMA, aku pernah dihina seorang guru agama dikarenakan rumahku jelek, masa depanku buruk. Zaman itu, semua temanku banyak yang sudah memilih kampus untuk melanjutkan kuliah. Sedangkan aku, tidak tentu nasibnya. Bahkan ditawarin untuk bekerja. Bayangkan, seorang guru agama, tidak memperhatikan apa yang dia ucapkan pada muridnya yang berusaha senantiasa optimis memandang kehidupan. Tapi, karena aku tak punya daya apapun, aku diam saja. Hanya mampu memasrahkan segalanya pada Allah semata.

Alhamdulillah kemudian Allah beri kemudahan dan aku diterima S1 Teknik di ITS dengan jalur full beasiswa. Dari sana aku terus meyakinkan diri bahwa Allah lah yang Maha Baik dan Pasti memberikan sesuatu balasan kebaikan yang aku tak pernah sangka dan aku pahami, kecuali setelah menerima itu semua.



Sudut Pandang yang Lebih Luas

Dari sisi keilmuan yang lebih menyeluruh, salah satu guruku pernah bilang gini, "Seseorang yang terluka, yang belum memulihkan luka batinnya, atau trauma dalam hidupnya, ia akan berpotensi menyakiti orang-orang di sekitarnya."

Dari berbagai kejadian, aku belajar bahwa kalau ada orang yang berkata kasar, sesungguhnya yang berbicara itu adalah lukanya. Bukan diri, karena diri sejati adalah diri yang welas asih dan suci. Diri sejati merupakan manusia yang mudah memaafkan dan berbuat kebaikan. 

Si Pak Miftah itu, ramai di threads dan banyak yang mengulik traumanya, konon Pak Miftah ini ada luka dan pengalaman tidak mengenakkan dengan oknum penjual es teh. Singkat cerita, saat kejadian jadi kayak triggering dan meledaklah itu 'candaan' yang tidak ahsan. Sebenarnya kasihan ya, tapi kumaha ya eta terangkanlah kalau seandainya itu adalah ayah atau ibu kita yang dibegitukan saat berdagang di pengajian besar. 

Bukankah menegur orang yang (jikapun benar) berbuat salah, bisa menggunakan cara yang ahsan dan baik? Walau sudah qadarullah meluncur juga umpatan itu, kita jadi lebih banyak belajar lagi bahwa tidak ada profesi yang rendah di dunia ini selain manusia itu merasa 'lebih tinggi' atau 'tinggi hati' dari yang lain. Bukankah tidak akan ada perasaan merendahkan orang jika kita punya kesadaran bahwa kita ini sama-sama hamba yang juga rendah di bumi? Kita ini tidak bisa melampaui gunung yang menjulang tinggi.

Namun, jika ada yang berkata kasar, bukan berarti kita benarkan. Dengan dalih 'itu luka masa lalunya'. Melainkan mari kita berikan kesadaran bahwa luka itu tanggung jawab utuh pribadi. Maka, fokusnya adalah sembuhkan luka didalam diri, bukan malah melampiaskannya dengan seenak hati. Maka, pelajaran berharganya adalah, mari hati-hati memilih Guru.

Hati-hati Memilih Guru

Ini zaman begitu mudahnya orang berbicara. Bahkan hanya bermodal banyak followers, semua seolah menjadi 'sesembahan' baru bagi mereka yang tidak mau meningkatkan kesadaran diri secara utuh.

Dulu, aku pernah berada di level taklid. Pokonya apa yang disampaikan guru, telan aja. Faktanya, atas izin Allah, aku mendapatkan teguran dan kemudian aku jadi tersadar bahwa tidak semua panutan, guru apalagi yang hidup di zaman ini, benar adanya. Maka, berhati-hatilah memilih guru, termasuk memilih teman.

Bukan apa-apa, karena vibrasi, frekuensinya setiap individu itu, membawa diri kita dan pasti tarik-menarik jika kita tidak memiliki kesadaran yang baik. Jadi, lihat siapa guru kita, teman kita, maka, tak akan jauh-jauh dari sana juga karakter itu mewujud nyata. 

Oia, ini agak keluar topik dan agak ke tepi jurang dikit ya. Banyak orang bilang bahwa jodoh itu cerminan. Sempat aku tanya ke guruku. Jawabannya ternyata tidak.

Setiap jiwa diminta pertanggungjawaban sesuai jiwa masing-masing. Makanya kelak di akhirat, mau sesoleh apapun pasangan kita, tak akan mampu memberikan pertolongan. Bahkan justru bisa menjadi musuh. What? Iya, kecuali yang frekuensinya setara, sesama memiliki frekuensi Surga.

Menariknya, surga itu bisa kita raih atau kita usahakan dan simulasikan di dunia sebelum di akhirat.

Belajar dari kejadian tokoh agama (agak gimana ya nyebutnya huhu) yang mengolok-olok bapak pejuang nafkah pedagang minuman itu, justru aku menyaksikan sekilas bahwa belajar bersabar, tidak membalas dan diamkan saja, selang dua pekan kemudian, Allah tunaikan :') kejadian itu viral dan banyak membuka mata hati orang-orang.

Ya, salah satu karakter penduduk surga adalah memaafkan.

Namun, sebagaimana Rasulullah yang juga memaafkan setiap insan, namun Rasulullah juga mengajarkan pada diri kita untuk menjaga batasan. Yakni dari peristiwa keji Wahsyi.

Rasulullah SAW tidak mau melihat wajah Wahsyi bin Harb, pembunuh pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, bahkan saat Wahsyi menyatakan masuk Islam. Rasulullah memalingkan wajahnya. Bukan tidak memaafkan, tetapi kejadian itu memang sangat melukai hati dan membuat beliau sedih.

Apa pelajarannya?

Memang, mungkin saat diolok-olok, pelontar olokan itu kemudian sadar dan meminta maaf. Ya, maafkan. Tapi ibarat gelas kaca, retak, tak akan mampu seutuh semula.

Sepanjang hidup dalam pernikahan ini, aku tak pernah satu kalipun diolok-olok oleh pasangan dan keluarga. Justru sebaliknya. Namun, tatkala aku menyaksikan pasangan diolok-olok, seperti hampir tidak percaya dan rasanya tidak masuk akal aja. Namun guruku lagi-lagi mengingatkan bahwa kita pasti diuji oleh Allah. Maka terima saja, belajar lagi dan jadikan momen itu sebagai momentum yang patut disyukuri karena pasti banyak hikmahnya.

Hikmah Diolok-olok 

Ya, banyak hikmahnya. Termasuk kemudian meresapi ayat Al-Qur'an yang begitu nyata selama ini dibaca. Namun setelah ditafakkuri, ditadabburi, disambung ke kejadian yang aku alami, rasanya Masyaa Allah. Amat melekat dan nyata, Allah itu sebaik itu ya membuka mata hati kita.

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)" (Terjemahan Surat Al Hujurat ayat 11)

Sebenarnya panjang kalau mau diteruskan ke ayat setelahnya dan seterusnya. Tapi, ada satu hal yang paling mengena di hatiku saat mentadabburinya. Yaitu, seruan ini hanya berlaku untuk orang yang beriman.

Sempat aku mengulik lebih dalam lagi, beriman tuh kayak gimana? Tentu bukan sekadar bersyahadat, shalat, puasa dst. Tetapi guruku memberikan pemahaman lebih dalam mengenai hal itu. Nah, disinilah pentingnya kita punya guru, saat kejadian tidak nyaman, kita bisa bertanya pada ahli ilmu, bukan malah ke BESTie, tetangga atau apapun itu you named it.

Guruku mengatakan bahwa beriman itu harus berlandaskan pada pengetahuan. Bukan sekadar keyakinan. Seandainya benar bahwa iman itu hanya berlandaskan pada penerimaan subjektif, maka niscaya para ulama Muslim tidak akan berselisih terkait hukumnya orang yang bertaklid. Karena keimanan dalam islam tidak didasarkan pada taklid semata, apalagi taklid buta.

Kenapa tidak boleh bertaklid? Kenapa perlu berlandaskan pengetahuan? Sebab tanpa pengetahuan dan akal yang kuat dan kokoh, ketika suatu waktu ada yang datang untuk meragukan itu, bisa jadi dia akan meninggalkan keimanannya itu.  Di akhirat kelak, keselamatan manusia juga ditentukan oleh iman yang lurus. Dan iman yang lurus tidak didapatkan dari warisan atau sekadar ikut-ikutan, melainkan membutuhkan pengetahuan. Maka, penting bagi kita mempelajari dasar-dasar Akidah ahlussunah wal Jama'ah. Kalau mau baca, bisa membaca karya Ustadz Muhammad Nuruddin yang menulis analisis dan Syarah atas Kitab Ummul Barāhin karya Imam Sanusi.

Lalu, apa hikmah Diolok-olok?

1. Saat kita bersabar di pukulan pertama (karena sabar itu letaknya di pukulan pertama, atau detik pertama), tidak membalas olokannya, maka selamatlah jiwa kita atas izin Allah. Jiwa menjadi lebih ringan dan tenang karena lebih fokus kedalam diri, tidak mencaci maki atau merespon menggunakan sifat syaitoniyyah diri. Dan kesabaran itu memang berat, makanya cukup Allah yang Maha Melihat.

2. Diolok-olok akan meningkatkan kegigihan dan daya juang. Enggak kebayang kalau tidak ada yang mengolok, maka bisa jadi akan terus nyaman di zona nyaman kehidupan.

3. Jadi memahami karakter diri dan orang. Ujiannya akan terbukti saat kejadian berlangsung. Reaksi itulah yang Allah lihat dan saksikan. Nah, guruku yang penuh kebijaksanaan selalu mengatakan bahwa apa yang dikeluarkan oleh teko itu isinya pasti sama persis dengan apa yang ada didalam diri teko. Tidak ada ceritanya teko berisi air teh mengeluarkan kopi, pun sebaliknya.

Maka, ber welas asih lah jika dihina. Karena bisa jadi, isi teko itu memang penuh kotoran dan keburukan yang kita tidak pernah tau darimana sumbernya. Orang yang keras pada orang lain, pasti dia amat sangat keras terhadap dirinya. Terpenting tidak terpancing. Ya sedih boleh, kecewa dan sakit hati, boleh. Just feels your feelings, alirkan. Jangan ditekan. Ingat, kesabaran itu adalah kemampuan menahan diri, bukan menekan diri.

Wallahu'alam bishshowab.

Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun