Tidak Ada Istilah Inner Child dalam Islam



Ini catatan dari beberapa teman di grup Ustadz Fauzil Adhim yang sempat saya simpan. Jazaakunnallah khairan katsiran atas penjelasan kakak-kakak kala itu (kak fanny, Kak Indra, dan Kak Ummu).

Berikut ini tulisan yang menggugah dari diskusi yang seru saat itu.

Tidak Ada Inner Child dalam Islam

Inner child tidak pernah disebutkan dlm Al-Qur'an. Dan sikap bathin anak kepada orang tua bukanlah memaafkan, tetapi mensyukuri. "Anisykurli waliwaliayya" kata Allah, "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu".

Besyukur adalah kalimat yang muncul dari memori positif, efeknya kita akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan dari orang tua kita.

Maka bersyukurlah lebih dahulu. Jika kita sudah bersyukur, maka memaafkan akan jauh lebih mudah. Jika bathin sudah dipenuhi rasa syukur, betapapun di kemudian hari kita menemukan keburukan lagi dan lagi dari mereka, hati kita tetap lapang, karena yang kita ingat adalah kebaikan-kebaikan mereka.

Bersyukurlah kepada orang tua kita, sebagaimana kita juga ingin disyukuri oleh anak-anak kita.

Tentang Memaafkan

Sedangkan memaafkan adalah kalimat yang muncul dari memori negatif, efeknya kita akan selalu teringat keburukan-keburukan mereka. Karena ketika kita memafkan, yang terlintas dalam benak kita adalah "mereka punya salah, sehingga saya perlu memaafkannya." 

Dan ketika suatu hari kita kecewa lagi dengan sikap orang tua kita, kita pun mejadi sulit lapang hati. karena untuk memaafkan itu berat, dan butuh perjuangan melawan ego.

Bayangkan mana yang lebih melapangkan hati bagi kita sebagai orang tua diantara 2 kalimat berikut:

1. Ayah / Ibu, dulu ayah/ibu pernah melakukan kesalahan kepada saya, ayah/ibu memaki saya dengan kata-kata kasar, mencubit, menampar, menendang saya. Sekarang saya maafkan ayah/ibu atas semua yang pernah saya alami. 

Coba bayangkan bagaimana perasaan orang tua kita mendengar ini dari anaknya. Senang / sedih? Atau....

2. Ayah/ibu, terimakasih ya, atas semua jasa yang sudah diberikan kepada saya. Ayah setiap hari mencari nafkah untuk menghidupi saya. Walaupun dulu ayah pernah marah, memaki, memukul, tapi ayah tetap mengantar saya ke sekolah, mengajak saya bermain dan seterusnya. Walaupun ibu dulu pernah marah, bikin saya kecewa, tapi ibu tetap memasakkan makanan untuk saya, mencuci pakaian saya, mendo'akan kebaikan-kebaikan untuk saya. Terimakasih ya ayah/ibu. Kebaikan-kebaikan ayah/ibu takkan pernah setara dengan apapun.

Hayooo mana yang lebih kita mau untuk kita dengar dari anak-anak kita?

Kita sendiri ingin dimaafkan apa disyukuri? 

Dewasa = Tidak Mengandalkan Inner Child sebagai Alasan Melukai Orang Lain = Mengandalkan Inner Child = Tidak Dewasa = Orang Kekanak-kanakan

Agak kompleks memang kalau tentang dinamika jiwa manusia ini.

Benar bahwa dalam islam tidak ada terminologi inner child. Tetapi bahwa ada sikap-sikap pengasuhan yang keliru dan itu muncul karena proses modelling dari orang tua kita, ini mungkin bisa ditelaah. Kuncinya memang belajar tentang pengasuhan yang benar. 

Tetapi ada kasus-kasus trauma karena sikap orang tua yang keliru. Tanpa mengecilkan jasa orang tua, ada kalanya ini seperti penyakit yang ada dalam diri kita dan butuh disembuhkan. Ya, trauma itu memang menyakitkan.

Namun, ingat, dalam Islam ada konsep iman pada qadha dan qadar, tawakal dan ridho pada segala ketentuan-Nya yang telah digariskan. Namun, pada sebagian orang, untuk memahami konsep ridho ini bukanlah perkara mudah. Boleh jadi membutuhkan bantuan profesional atau orang lain untuk tawassau bil haq, tawassau bish shobr, agar mendapatkan nasihat kebenaran dan kesabaran yang benar.

Tidak ada Hutang Pengasuhan

Temasuk istilah hutang pengasuhan, ini kita jadi nir adab pada orang tua kita jika sampai 'menagih' pengasuhan itu pada mereka atau menuntutnya karena telah melukai kita. Walau di sisi lain, sebagai orang tua, kita perlu sadar kalau kita tuh manusia. Selama masih manusia ya pasti punya salah. Kalau punya salah, ya minta maaf. 

Masalahnya kan kalau gak sadar punya salah, gimana? masa perlu dibiarkan saja? 

Maka dari itu, ini diperlukan ilmu. Selengkap-lengkapnya ilmu pun, tetap bisa disampaikan bahwa ayah ibu bisa salah. Tapi kalau mau negur silakan, asal sebagai anak, tahu aturan. Aturannya bukan ayah-ibunya yang bikin, tapi Allah. 

Dewasa = Tidak Mengkambinghitamkan Inner Child

Sementara sebagai anak, waktu kecil mungkin kita gak paham dan confused, bingung. Tapi setelah dewasa, kita punya tanggung jawab sama hidup kita sendiri. Jadi kalau ada yang bilang 'aku begini begitu karena orang tuaku', itu bentuk perilaku tidak bertanggung jawab. Toh udah dewasa, udah bisa memilih mau perilakunya gimana. Bahwa kalau itu sulit, yaaa masa siih surga mau diraih dengan cara mudah? Orang mau jahat aja pakai effort. Apalagi mau jadi baik. 

Jadi ok lah kalau sampai usia baligh masih nyalahin pihak luar. Kalau udah baligh masih gak ambil alih tanggung jawab atas hidup sendiri, emang bisa dosa nanti dialihin ke orang? 

Jadi yang kita butuhkan sebenarnya adalah menerima hal-hal yang gak bisa diubah, lalu kita perlu sadar mengambil tanggung jawab untuk mengubah yang bisa diubah. 

Apa yang bisa diubah dan tidak bisa diubah?
Insya Allah next postingan ya.

Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun