Pasca Covid, Memaknai Rasa dalam Musibah

 

Saya masih mencatat perjalanan ini, dimulai dari awal Maret 2020. Ketika berita virus baru yang bernama covid-19 itu menerjang bak tornado yang menghantam ke seluruh sendi bidang permukaan bumi. Semua terpekik, sebab tanpa persiapan sama sekali. Pun demikian dengan saya sekeluarga, serta merta mengisolasi diri tanpa keluar rumah demi mematuhi himbauan pemerintah. Coba kita telisik. Negara mana yang sudah siap menghadapi pandemi ini? saya kira, tidak ada.

Berita itu terus terkabarkan, setiap jam, setiap hari, tanpa jeda, memenuhi media massa. Dan walaupun saya tak memiliki televisi di rumah, ponsel yang saya genggam tetap menjadi sumber yang komplit yang terus saya baca. Hampir semua lini membahasnya, mulai dari grup whatsapp, status media sosial hingga youtube.. Seolah tak mau ketinggalan, pun demikian dengan saya. Saya ikut aktif dalam memberitakan -berbagi- informasi terkait dengannya.

Dari awal beredar berita lokasi ODP (orang dalam pengawasan) yang tak jauh dari rumah saya, saya bergidik. Saya semakin bertahan di dalam rumah yang memang sejak awal pemberitaan saya tak keluar komplek sama sekali. Ditambah susulan berita ada orang yang terpapar dan positif di komplek sebelah rumah saya, semakin takutlah perasan ini. Betapa secepat itu, virus baru covid-19 ini menyebar. Saya setengah panik, bingung.

Rasanya hampir semua orang merasakannya. Hal pertama tentu reflek ber-istighfar, memohon ampunan. Namun terkadang antara lisan dan kinerja pikiran tak berjalan linier. Rasa panik, didukung dengan menghilangnya masker, APD dari peredaran, ditambah harga yang melonjak tinggi, tak terelakkan untuk bersikap gusar. Dan nampak jelas adegan baru dalam kehidupan masyarakat yang belum siap, hampir semuanya melakukan panic buying.

Beruntung saya masih mentolerir diri untuk tetap tenang, walau pun tetap sedia stok pangan juga sih. Saya mulai sadar jika asupan kortisol pada tubuh meningkat berlebih, jumlah stress akan turut melonjak dan jiwa semakin terasa terbebani, so, keep calm and stay safe.

Hormon kortisol sebenarnya adalah hormon yang baik, Allah menciptakannya dengan tujuan agar kita sebagai manusia mampu menangkal dan mempersiapkan tubuh saat menghadapi stress.

Penelitian tentang kortisol ini pernah diuji pada beberapa makhluk hidup lain, yakni hewan. Pada hewan menunjukkan bahwa tiadanya hormon ini menyebabkan hewan itu tidak layak hidup. Boleh jadi hewan itu masih bisa bernapas dan mengatur bagian dalam tubuhnya namun terhadap kendali di luar atau lingkungan, sangatlah labil.

Kortisol dihasilkan oleh kelenjar di ginjal dengan kontrol dari otak, jika stress maka tubuh akan mengeluarkan hormon ini, jika kondisi stress penuh dengan tekanan maka diperlukan energi berlipat.

Setidaknya ada tiga zat yang utama (karbohidrat, lemak dan protein) namun karbohidratlah yang sifatnya siap pakai, sehingga zat gizi lainnya akan diarahkan untuk diubah menjadi karbohidrat.

Masalahnya muncul di sini, protein merupakan bahan pokok pembentuk sistem pertahanan tubuh. Maka jika protein diarahkan untuk membentuk karbohidrat, jumlah protein akan berkurang. Imbasnya, sistem pertahanan tubuh kita melemah. Ini lah kenapa, orang yang stress rentan dihinggapi penyakit.

Menyadari akan proses itu, saya mulai menjaga jarak interaksi antara sosial media dan dunia nyata. Saya merenung. Saya sadar jika saya panik dan semua panik, secara kontinu maka pikiran bawah sadar saya pasti mengamini dan ikut terbawa arus. Maka saya mulai stop pemberitaan, saya hanya membaca yang penting dan informasi yang betul-betul perlu.

Walaupun saya seorang ibu rumah tangga dan sehari-hari sudah terbiasa diam di rumah, saya perlu mengkondisikan keluarga untuk mematuhi semua protokol kesehatan. Terutama yang sudah diumumkan resmi oleh pemerintah. Saya akui, dari awal, saya cenderung santai. Di saat semua orang membeli hand sanitizier bahkan ada yang memborongnya. Saya cukup kalem, menyiapkan sabun cuci tangan saja, toh tidak kemana-mana.

Per tanggal 15 Maret 2020 saya mulai memastikan tidak lagi keluar area rumah kecuali darurat. Tentu hal ini tidak berlaku untuk saudara saya yang bekerja dan menggantungkan pada upah harian.

Namun penting bagi saya pribadi yang memang bertugas di dalam rumah membersamai anak, untuk memberikan pengertian pada semua. Terutama putera saya yang masih balita, agar dia bermain, belajar dan melakukan aktifitas hanya di dalam rumah saja.

Tidak ada lagi agenda bermain ke taman, pergi belanja ke swalayan atau bermain ke kids zona seperti biasanya. Penjelasan sederhana dari saya melalui cerita dan buku, cukup dia tangkap walaupun di awal lumayan mengerahkan effort untuk proses beradaptasinya.

Suami saya tidak mendapat kebijakan WFH (work from home) sehingga tetap berangkat ke kantor sebagaimana biasa. Maka prosedur ketat berlaku untuk beliau. Khusus suami terdapat tambahan kriteria yaitu wajib menggunakan masker, sering mencuci tangan dengan sabun dan ketika tiba di rumah harus segera mandi, berganti pakaian dan tidak boleh menyentuh apapun sebelum semua itu dikerjakan.

Saya berbagi tugas. Terkait urusan membeli bahan pokok dan segala keperluan yang membutuhkan keluar rumah, suami yang handle. Sedangkan saya tetap melakukan aktifitas productif di rumah bersama anak.

Saya mulai mengumpulkan resep masakan, mencoba hal-hal baru, banyak membaca buku, meningkatkan ibadah harian (amalan yaumi) serta lebih rutin membereskan rumah. Saya yakin, Allah pasti menyelipkan hikmah dari wabah covid-19 asalkan saya mau mencarinya. Akhirnya, saya Kembali menekuni hobi lama. Mengulang-ulang pelajaran dan membaca buku yang ‘agak berat’.

Selama sepekan, suami menuliskan jadwal kajian diskusi bersama. Berlaku ba’da subuh untuk membedah buku kitab yang tertata rapi di rak buku bagian atas. Senin membaca Fiqh Sunnah, selasa Al-Wafa, Rabu Al-Wafi, Kamis Riyadush Shalihin, weekend membedah tema atau diskusi ilmu baru.

Saya pribadi berupaya mandiri mempelajari ulang materi HSI (halaqah silsilah ilmiyah) Ust. Abdullah Roy. Walaupun masih berada di silsilah awal, saya rasa perlu untuk mengulang materi agar kepala tidak terlalu lama mendingin.

Pada materi ‘Takut Kepada Allah’ di sana disebutkan, “Diantara keyakinan seorang muslim bahwa manfaat dan mudharat adalah di tangan Allah semata, seorang muslim tidak takut kecuali kepada Allah dan tidak bertawakal kecuali kepada Allah”.

Terasa benar kalimat tersebut Ketika dihadapkan dengan kondisi saat ini.Kemudian saya menambah wawasan dengan membaca buku yang berkaitan dengan ikhlas.

Ikhlas berasal dari Bahasa Arab yang sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia. Dari Bahasa asalnya, ikhlas berasal dari kata “akhlasa” yang berarti bersih, murni dan jernih. Adapun dari segi istilahnya, banyak ulama yang menerjemahkan kata ini berbeda-beda namun memiliki makna yang sama.

Imam Abu Qasim al-Qusyairi membahasakan ikhlas dengan memaksudkan segala amalan dengan memfokuskan tujuan dalam ketaatan semata-mata kepada Allah. Ali Abdul Halim Mahmud seorang ulama kontemporer menjelaskan inti dari keikhlasan adalah berlepas diri dari sesuatu selain Allah Swt yaitu bersihnya perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha Allah dan pahala dari-Nya.

Ikhlas itu wujud aktifitas hati, dan ini sungguh bukan hal yang mudah. Saya sendiri masih terus berlatih. Dalam pikiran sadar, kita yakin bahwa cobaan yang sesungguhnya ini memiliki potensi untuk meningkatkan derajat dan mendekatkan diri pada-Nya. Walau pada praktiknya, tidak mudah.

Beberapa respons saat sakit misal, ingin rasanya cepat-cepat sembuh. Sehingga efeknya seringkali “lupa” untuk menggantungkan kesembuhan hanya kepada Allah. Misalnya jadi menggantungkan pada obat, rumah sakit, dokter atau tenaga medis lainnya. Kelupaan yang berakibat hilangnya keikhlasan.

“Setiap penyakit ada terapinya, Ketika terapi yang diberikan tepat, penyakit itu tersembuhkan dengan izin Allah yang Maha Kuasa” (H.R Muslim)

Lagi-lagi, kita harus melatih rasa ikhlas. Ya! Ikhlas itu mutlak diperlukan.

Bukti nyata pentingnya keikhlasan itu juga pernah ada pada terapi SEFT (spiritual emotional freedom technique) yang dipopulerkan oleh Ahmad Faiz Zainuddin.

SEFT merupakan terapi psikologis, gabungan dari berbagai teknik yang ada untuk mengatasi gangguan yang dialami tubuh. Terapinya terlihat sederhana, berupa tapping (pengetokan) di beberapa titik tubuh dengan kata kunci unik, “Ya Allah, saya ikhlas, saya pasrah.” kalimat itulah salah satu inti dari terapinya. Kesimpulan dari belajar materi ikhlas adalah bagaimanapun kerasnya kita berusaha, Ketika keikhlasan tidak ada, terapinya akan sia-sia. “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Q.S Asy Syu’ara : 80).

Dalam tinjauan medis modern sekalipun, keikhlasan begitu kental terasa dan disebut dengan efek placebo. Placebo memiliki terjemahan bebas “kosong” ini sering didengungkan karena melihat banyaknya fenomena sembuh meskipun dengan obat yang kurang tepat bahkan tanpa obat. Terbukti banyak yang sembuh. Kuncinya pada kepercayaan. Kepercayaan itu memberikan efek positif dalam tubuh. Misalnya seseorang yang mendatangi dokter, belum diberi obat, merasa sudah sembuh duluan. Ini hanya contoh percaya pada manusia lalu bagaimana bila kita teguh menjada keikhlasan pada Allah semata? Tentu efeknya lebih dahsyat.

Keikhlasan mampu menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan memperbaiki mekanisme tubuh dalam mengatasi beban. Mekanisme ini terbentuk melalui belajar dan mengingat. Mekanisme ini dikenal dengan istilah coping. Sederhanya adalah jika seseorang dapat menghayati makna setiap ibadah, menjada keikhlasan didalamnya, orang tersebut dimungkinkan dapat mengendalikan berbagai kondisi penuh tekanan termasuk musibah. Jika coping berhasil, stressor bukan lagi menjadi stressor yang menimbulkan reaksi stress melainkan menjadi tantangan untuk berprestasi atau menghasilkan sesuatu.

Coping ini lah yang saya latih di rumah, selama pandemi ini sebisa mungkin saya mencoba untuk memecahkan tantangan demi tantangan. Mulai dari mencoba memasak resep baru, mengisi blog, menulis rutin, mengikuti berbagai kompetisi online, mengubah suasana rumah lebih sehat dan nyaman hingga mengikuti kegiatan sosial jarak jauh. Seperti menyalurkan donasi dan APD sesuai kemampuan karena saya yakin sedekah yang terbaik adalah sedekah di saat sempit (terjadi pandemic). Dan tak lupa juga, saya menantang diri saya untuk meningkatkan amal ibadah harian (amal yaumi) terutama sholat tahajud.

Bagi Sebagian orang mungkin tahajud sudah menjadi rutinitasnya, namun bagi saya yang masih awam ini, bangun malam itu tantangan banget. Motivasi untuk membangun kebiasaan ini ada pada hadist, “Shalat Tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan dan menghindarkan diri dari penyakit.” (H.R At-Tirmidzi).

Dr. Sholeh dalam buku beliau yang berjudul Terapi Shalat Tahajud berhasil membuktikan hadist Rasulullah tersebut dalam disertasi beliau. Dari penelitian disertasi beliau, disimpulkan bahwa shalat tahajud yang dijalankan dengan kontinu, khusyu dan ikhlas mampu menjadi mekanisme coping yang efektif sehingga dapat mengurangi reaksi stress, mampu menghambat laju pengeluaran kortisol yang berlebihan sehingga membuat tubuh lebih sehat.

Dari pandemi ini saya belajar banyak, bahwa Allah telah memberikan peringatan ke seluruh penjuru negeri tanpa pandang bulu. Semua orang merasakan, tua, muda, kaya, miskin, tiada yang beda. Semoga kita mampu memperbaiki diri. Jangan lagi ada keserakahan, ibadah asal-asalan, kesombongan dan segala hal yang sudah sering Allah perlihatkan melalui semesta. Dan dari segala pentunjuk-Nya adalah Kembali lagi kepada kemampuan iman kita, apakah mau bergerak meraih perbaikan atau tidak. Wallahu’alam.

Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia (HR. Tirmidzi).

Comments

Popular posts from this blog

Mukaddimah Kurikulum Pendidikan Anak dalam Keluarga Muslim sesuai Tahapan Usia bersama Ustadz Herfi Ghulam Faizi

Mendidik Anak Usia 7-9 Tahun

Mendidik Anak Usia 1-3 Tahun